PUTERI SRI PINGAI
By Huzaini Bule Sahib o
CERITA ini ada hubungannya dengan kisah Tu’ Pancor yang setelah sekian lama bermukim di keleka’nya tak juga memperoleh seorang anak. Hingga sunyi lah rumahnya sepanjang hari.
Pada suatu hari, di kala sedang terjadi musim Selatan, air laut sedang surut pada pagi hari, Tu’ Pancor dan Nek Pancor menghilir ke laut untuk menangkap ikan. Hari itu, dari pagi hingga air sudah bergerak pasang, belum seekor ikan pun yang berhasil ditangkap pasangan suami isteri ini. Satu ketika alat penangkap ikan mereka berhasil menangkap beberapa ekor ikan dan sepotong bambu. Setelah ikan diambil bambu itu pun dibuang kembali ke laut. Anehnya, ketika mereka kembali mengangkat penangkap ikannya, selalu saja bambu itu terikut. Hal ini membuat Tu’ Pancor gusar. Akhirnya, setelah berulang kali terjadi, bambu tadi diambilnya dan diletakkan di dalam perahu. Ketika air semakin pasang, akhirnya pasangan suami isteri ini pun memutuskan pulang. Karena sedang terjadi arus pasang Tu’ Pancor tanpa perlu mengayuh perahunya.
Matahari sudah hampir tenggelam ketika pasangan suami isteri tiba di rumah. Nek Pancor langsung membenahi hasil tangkapan hari itu. Sebagian disiapkan untuk hidangan santap malam dan sebagian lagi untuk digarami (dikeringkan). Sedang Tu’ Pancor membenahi alat penangkap ikannya. Bambu yang mereka bawa pulang tadi ditaruh di kaki tangga depan pondoknya.
Keesokan paginya Tu’ Pancor bermaksud berburu kijang ke hutan. Nek Pancor memasak nasi untuk bekal suaminya. Alat penangkap kijang –disebut lapun, red., telah disiapkan. Setelah semuanya siap, dari pondoknya, Tu’ Pancor bergegas menuju ke arah Utara. Cuaca pagi itu cerah sekali.
Sepeninggal suaminya berburu Nek Pancor bersiap-siap untuk menjemur padi di halaman depan rumahnya. Padi sebanyak satu ambin (dua kaleng minyak tanah, red.) dihamparkannya di atas sehelai tikar. Untuk menjaga agar tikar tidak diterbangkan angin, pada setiap sisinya dipasang kayu melintang. Salah satunya bambu yang dibawa suaminya dari laut kemarin. Nek Pancor duduk menunggui jemurannya sambil sesekali masuk ke dalam rumah.
Satu keanehan luar biasa terjadi. Cuaca yang tadinya cerah dan terang benderang seketika menjadi gelap gulita, seperti malam hari. Awan gelap menggumpal-gumpal seiring datangnya gerimis. Titik-titik hujan pun secara perlahan berubah menjadi hujan lebat. Dalam lebatnya hujan, tiba-tiba terdengar suara letupan dahsyat. Nek Pancor, yang sedang sibuk mengangkat jemuran padinya, terkejut bukan alang-kepalang mendengar letupan itu.
Tapi, Nek Pancor lebih terkejut lagi, dengan apa yang didengarnya setelah letupan itu. Sayup-sayup, di antara deru angin dan hujan, ia mendengar suara tangisan bayi. Semula Nek Pancor tak percaya dengan apa yang didengarnya itu. Dalam hati, ia hanya berfikir, “Ah ini hanya salah pendengaran saja.” Tapi, begitu ia memusatkan pehatiannya ke asal suara letupan dahsyat tadi, yakinlah ia bahwa itu bukan salah pendengaran.
Bukan hanya itu. Ia malah kaget karena bambu yang digunakannya untuk menggalang jemuran padinya telah terbelah dua. Lebih kaget lagi ia ketika melihat persis di tengah belahan bambu tadi terdapat jabang bayi sedang menangis. Nek Pancor pun segera mengambil bayi itu dan segera membersihkannya. Setelah dibersihkan, bayi itu ia selimuti dan dinina bobokkan hingga bayi itu berhenti menangis dan tertidur.
Seiring dengan itu hujan di luar pun turun makin lebat. Bak dicurahkan dari langit saja. Air mulai menggenang dimana-mana. Jemuran padi yang belum sempat diangkat Nek Pancor mengambang di halaman.
Di tengah hutan, Tu’ Pancor yang tengah berburu di hutan juga kehujanan. Dalam hujan lebat itu ia berhasil menangkap seekor kijang besar dan gemuk. Hasil tangkapannya itu, membuatnya seakan-akan tidak merasakan sedikit pun dinginnya hujan. Kijang hasil buruannya itu ia panggul di atas pundak dan bergegas pulang kembali menuju pondoknya.
Sementara hujan pun tak ada tanda-tanda akan berhenti. Malah turun makin deras. Tiba pada satu lemong (cekukan sungai, red.) yang airnya telah meluap perjalanan Tu’ Pancor terhenti. Ia tidak bisa menyeberang. Titian lemong itu telah raib terbawa arus air. Dihadapkan dengan kondisi demikian Tu’ Pancor meletakkan kijangnya dan memotong batang kayujemang berukuran agak besar. Setelah itu batang jemang itu ia rebahkan melintang hingga ujungnya sampai ke seberang. Sesaat kemudian Tu’ Pancor kembali memanggul kijangnya dan menyeberangi titian dari kayu jemang tadi dengan langkah bergegas. Hingga sekarang, tempat Tu’ Pancor menyeberang tadi dikenal dengan sebutan LEMONG TITI JEMANG, yang berarti cerukan sungai yang memiliki jembatan dari batang jemang.
Singkat cerita, dalam lebatnya hujan, setelah bergegas akhirnya Tu’ Pancor sampai di pinggir ladangnya. Dari jauh ia bisa mulai melihat pondoknya. Kian lama kian dekat. Begitu memasuki halaman pondoknya ia tertegun mendapati hamparan tikar yang penuh padi telah mengambang. Melihat itu, tak urung cemas dan curiga pun muncul dalam hatinya. Apalagi semua pintu dan jendela tertutup, kecuali jendela kamar.
Dalam kecemasannya Tu’ Pancor memanggil-manggil istrinya. Tapi, kendati telah berkali-kali memanggil, tak ada jawaban dari istrinya. Dengan cemas, ia pun segera meletakkan hasil buruannya di tangga pondok. Sekejap kemudian ia masuk ke dalam pondok dengan parang terhunus di tangan kanannya. Air dari pakaiannya yang basah berceceran di lantai pondok. Dicarinya Nek Pancor ke dapur. Tak ada. Yang ditemuinya hanya periuk nasi yang sedang terjerang di atas tungku.
Akhirnya, ia masuk ke kamar tidur. Bukan alang kepalang kagetnya Tu’ Pancor ketika menyaksikan apa yang didapatinya di kamar itu. Nek Pancor sedang asyik mengeloni bayi. Melihat kedatangan suaminya Nek Pancor pun segera memberi isyarat agar tidak berisik. Tu’ Pancor merasa lega karena tidak terjadi sesuatu terhadap istrinya, seperti ia cemaskan sebelumnya. Tapi, hatinya dipenuhi tanda tanya. Darimana asal-usul bayi tersebut?
Saat Tu’ Pancor sedang berganti pakaian perlahan-lahan Nek Pancor bangkit. Sambil berjingkat ia menggamit lengan suaminya, mengajaknya ke dapur. Nek Pancor pun kemudian menceritakan hal ikhwal sang bayi. Akhirnya, terjawablah sudah teka-teki sang bayi bagi Tu’ Pancor.
Dengan penuh kegembiraan pasangan suami istri ini pun mengangkat anak si bayi tadi dan memberinya nama ‘SRI PINGAI’. Namun, setelah ia tumbuh menjadi anak-anak Tu’ Pancor sering memanggilnya Manis.
Seiring dengan itu hujan pun mulai mereda. Teringat kijang hasil buruannya masih tergeletak di tangga depan pondoknya Tu’ Pancor bergegas ke luar. Tak lama kemudian ia telah membuat api untuk mencabuti bulu kijang tadi. Ketika Nek Pancor mau membantu ia melarangnya dan menyuruh agar Nek Pancor menjaga Sri Pingai. Semua urusan masak memasak diambil alih Tu’ Pancor. Setelah kehadiran Sri Pingai kehidupan pasangan suami istri ini selalu dipenuhi kegembiraan.
***
BELASAN tahun berlalu. Sri Pingai pun menjadi kembang Kelaka’ Tu’ Pancor. Tapi belum seorang pun yang berani dan berhasil menggaet hatinya.
Suatu hari sebuah perahu mendarat di pinggir sungai sekitar Keleka’ Tu’ Pancor. Pemilik perahu itu kemudian dikenali bernama Temanggung Singaranu. Beliau masih perjaka tulen dan sebagaimana seorang perjaka, tentulah hatinya tergerak untuk menentukan pasangan hidupnya.
Pada suatu sore yang cerah Temanggung Singaranu berjalan-jalan di Keleka’ Tu’ Pancor untuk bersilaturahmi dengan penduduk keleka’. Sebab, sebagai pendatang baru, ia harus segera menyatu dengan masyarakat setempat. Sedang asyiknya berjalan-jalan terlihat olehnya seorang gadis cantik dengan rambut hitam panjang tergerai hingga ke punggung, hidungnya mancung dengan mata bersinar menunjukkan vitalitas hidup yang dinamis. Siapa gerangan dia, tanya Temanggung dalam hati.
Sebagai pendatang baru, tentu saja, Temanggung masih menjaga-jaga diri untuk mendekati gadis cantik tadi. Namun, sepanjang perjalanan keliling keleka’, ia tak bisa menghilangkan bayangan si gadis. Bahkan dimana pun dan kemana pun ia pergi selalu saja wajah sang gadis membayang di pelupuk matanya.
Akhirnya, setelah mencari tahu kesana kemari, ia pun tahu bahwa si gadis yang telah menggodanya itu adalah Sri Pingai, anak angkat Tu’ Pancor, yang juga kepala keleka’ yang sangat disegani juga oleh awak perahunya. Dengan sikap berani akhirnya Singaranu segera menghadap Tu’ Pancor untuk melamar Sri Pingai menjadi istrinya.
Namun adat setempat tak bisa begitu saja menerima lamaran siapa pun. Karena itulah Tu’ Pancor pun belum mengiyakan dan merestui kehendak Singaranu betapa pun ia menyadari bahwa hidupnya tak lama lagi dan Sri Pingai sudah cukup dewasa untuk berkeluarga. Maka Tu’ Pancor pun meminta waktu tujuh hari untuk memikirkan sebelum menjawab lamaran Singaranu.
Tu’ Pancor berfikiran bagaimana pun ia harus tahu dulu asal muasal Singaranu sebagai calon suami anak angkatnya, Sri Pingai. Selama tujuh hari tersebut, dengan menggunakan pihak lain, Tu’ Pancotr mencari keterangan tentang asal muasal Singaranu, kepada awak perahu atau anak buah perahu Singaranu.
Setelah mengetahui asal muasal Singaranu dan menilainya cocok sebagai suami Sri Pingai, akhirnya sampailah waktunya untuk menjawab lamaran Singaranu. Musyawarah keluarga dengan saudara Tu’ Pancor dan kaum tua lainnya serta kemauan Sri Pingai sendiri bulat memutuskan menerima lamaran Singaranu. Berita gembira itu pun disampaikan kepada Singaranu yang sudah tak sabar menunggu.
Setelah mendengar kabar gembira itu, Singaranu merasa sangat lega. Karena baru kali inilah hatinya benar-benar tergerak untuk berkeluarga, dan ternyata keinginannya itu mendapat sambutan baik dari keluarga Sri Pingai. Maka ia pun berjanji kepada dirinya sendiri akan mengurus dan membela istrinya dengan sebaik-baiknya dan berusaha untuk tidak jauh-jauh dari Sri Pingai, apalagi setelah ia tahu bahwa Sri Pingai adalah anak kesayangan Tu’ Pancor.
Hari yang dinanti-nantikan itu pun akhirnya tiba. Tu’ Pancor menggelar perhelatan besar selama tujuh hari tujuh malam yang tidak ada tandingannya pada waktu itu. Segala bentuk permainan adat digelar. Masyarakat Keleka’ Tu’ Pancor, bahkan dari keleka’ yang jauh letaknya, berdatangan untuk menghadiri perhelatan tersebut. Pendek kata, selama sepekan itu, Keleka’ Tu’ Pancor berubah menjadi tak ubahnya sebuah pasar malam.
Demikianlah, setelah perhelatan usai, Sri Pingai dan Singaranu menjadi sepasang suami istri dan tetap tinggal di rumah Tu’ Pancor. Singaranu betul-betul tipe suami yang diharapkan Tu’ Pancor dan Nek Pancor. Mengingat keduanya sudah tua dan mulai sakit-sakitan tanggung jawab rumah tangga itu pun akhirnya diambil alih oleh pasangan muda itu.
Namun, ajal tetap ada di tangan Yang Kuasa. Suatu hari Nek Pancor menderita sakit keras. Tak lama kemudian ajal datang menjemputnya.
Kematian Nek Pancor ini membuat Sri Pingai sedih bukan alang kepalang. Belum habis masa berkabung Sri Pingai, Tu’ Pancor menyusul kepergian Nek Pancor. Tu’ Pancor pun akhirnya dimakamkan di Keleka’ itu juga, berdampingan dengan makan istrinya. (Kini, makam keduanya bisa ditemukan di bekas Kelaka’ Tu’ Pancor tak jauh sekitar delapan kilometer dari Kembiri menuju arah Air Kundor, Membalong, red.)
Ditinggalkan kedua orang tuanya secara beriringan, tak pelak membuat keluarga muda –yang masih mengaharapkan bimbingan keduanya-- ini terpukul. Terlebih-lebih Sri Pingai. Setiap pergi mandi ke sungai tempat ia biasa dimandikan ketika kecil oleh mendiang Nek Pancor, setiap kali pula ia menangis.
Menyadari kejadian itu, Singaranu tak mau membiarkannya. Ia takut, kalau dibiarkan berlarut-larut, bisa-bisa Sri Pingai jadi gila. Singaranu pun akhirnya berembuk dengan anak buahnya di kapal. Akhirnya seorang anak buah Singaranu pun berujar, “Juragan, kukira kita lebih baik membawa Sri Pingai ke tanah seberang, ke tanah kelahiran juragan. Apalagi selama ini juragan belum pernah mengatakan keadaan juragan. Karena itu, inilah saatnya, sekaligus untuk mengubah sikap Sri Pingai. Barangkali ia perlu suasana baru untuk menerima kematian kedua orang tuanya.”
Mendengar saran anak buahnya yang begitu simpatik, Singaranu pun memutuskan kembali ke negeri asalnya guna memperkenalkan istrinya kepada keluarganya, sekaligus menghibur istrinya yang terus berduka. Disiapkanlan segala macam bekal yang akan dibawa selama perjalanan. Bagian dalam perahunya juga diubah, dengan memberi kamar khusus untuk keperluan Sri Pingai beristirahat dengan suaminya Temanggung Singaranu.
Tepat pada saat keberangkatan perahu Singaranu, semua penduduk Keleka’ Tu’ Pancor pergi mengantarkannya. Mereka sangat terkesan dengan kehadiran Singaranu selama ini. Ia tidak membiarkan masalah berkembang di Keleka’ Tu’ Pancor. Ia selalu memberikan bantuan pemecahan masalah yang dihadapai penduduk kekela’. Bahkan tak segan-segan mengerahkan anak buah perahunya jika terjadi gangguan keamanan dari luar, seperti bajak laut/lanun. Itulah sebabnya mengapa penduduk Keleka’ Tu’ Pancor rela meninggalkan ume barang sesaat untuk melepas kepergian Sri Pingai dan Singaranu menuju negeri seberang. Bahkan, sebagian ada yang mengantarnya hingga ke muara Sungai Kembiri.
Begitu perahu Singaranu melepas jangkar, tak urung isak tangis penduduk Keleka’ Tu’ Pancor pun menggema diiringi lambaian tangan. Seiring turunnya gerimis, perlahan kapal Singaranu bergerak meninggalkan Keleka’ Tu’ Pancor menyusuri Sungai Kembiri menuju ke muara, sebelum akhirnya menuju laut lepas.
Rupanya alam pun ikut larut melepas kepergian Sri Pingai. Sesaat setelah kapal Singaranu lepas dari muara Sungai Kembiri dan telah berada di laut lepas, hujan turun dengan derasnya. Seperti dicurahkan dari langit. Persis seperti kondisi saat bambu tempat asal Sri Pingai meledak. Seiring dengan itu gelombang laut pun mulai meninggi dan mengganas.
Dari pinggir Sungai Kembiri, sebagian penduduk yang mengantar kepergian Sri Pingai sampai muara, samar-samar menyaksikan kapal Singaranu terombang-ambing dipermainkan gelombang laut yang makin mengganas. Dalam hantaman badai itu, akhirnya kapal itupun pecah terbelah dua. Semua penumpangnya tak ada yang selamat. Termasuk pasangan muda Sri Pingai dan Temanggung Singaranu. Sejak kejadian itu penduduk Keleka’ Pancor pun hanya bisa mengingat-ingat Sri pingai.
Konon, kabarnya, sejak kejadian itu hingga beberapa tahun silam, masyarakat sekitar kerap menemukan seekor buaya berbintik kuning di punggung dan dadanya diiringi seekor buaya gemuk dan pendek hilir mudik di Sungai Kembiri. Keduanya sering berhenti di tempat Sri Pingai semasa masih hidup dimandikan Nek Pancor serta berenang bersama teman sepermainannya. Memperhatikan tingkah lakunya, masyarakat setempat beranggapan bahwa kedua buaya tersebut adalah jelmaan Sri Pingai yang masih menghuni Sungai Kembiri bersama suaminya Temanggung Singaranu.
Narasumber : Abdul Hajar, saat diwawancara (1986) telah berusia 76 tahun, dan telah mendengar cerita ini dari orangtuanya pada 1954. Beliau adalah bekas Kepala Negeri Membalong sampai dengan 1976, dan sempat menjadi anggota DPRD Belitung (1973-1978).
Taken from : cerite kampong dari kampoeng halaman, edited by bule SAHIB
No comments:
Post a Comment