KIK NUJE DAN SECALONG
BERAS
By Huzaini Bule Sahib rewrite
on Tuesday, Sept
30, 2014
Mesjid Asy Syura
Pangkallalang adalah salah satu saksi perkembangan generasi muda Pangkallalang.
Dan, saksi kuncinya adalah Kik Nuje, dengan Legendanya Kik Syarif.
==================================================================================
“Assalamualaikum. Wr wb.” “Waalaikum
salam, masuk kek, tunggu sebentar ya.” Sekejap kemudian sang kakek yang
megucap salam tadi sudah membaca doa. Duduk di pinggir pintu, atau di kursi
tamu atau di atas selembar tikar agak lusuh. Mata nya terpejam-pejam, kepalanya
teranguk-angguk, mulutnya komat kamit.
Khusuk kakek itu membaca
doa, si empunya rumah mengambil karung gandum yang dibawa si kakek. Langsung
menuju pendaringan beras (tempat
menyimpan beras, bahasa lokal, red.).
Seusai sang kakek membaca doa, karung gandum itu pun sudah dikembalikan
kepada si empunya. Kakek ini, kadang diberi minum kadang ndak oleh si empunya
rumah.
Sepanjang tahun 1970- 80
an, pemandangan seperti itu selalu bisa ditemui setiap hari Kamis, di kampong
kami Pangkallalang, Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Ya, hari
Kamis memang jadi istimewa bagi urang (masyarakat) Pangkallalang. Hari
itu adalah hari paling mulia bagi seurang Kik Nuje (bahasa Indonesia
merbot, red.) masjid utama di
kampong kami, Masjid Asy syura. Dengan keikhlasan dan kebersahajaannye Kik Nuje
door to door mendatangi rumah urang Pangkallalang, mendoakan keselamatan warga,
dan oleh si empunya rumah diberi secalong (kaleng susu) beras.
Entah sejak kapan
mulainya, tapi ‘tradisi’ itulah yang sangat kentara dari seurang Kik Nuje
Masjid Asy Syura Pangkallalang. Mulai dari Kik Nuje (orang tua Nuje sekarang
Bang Reman) hingga Kik Syarif. Para nuje inilah penjaga rumah Allah yang
ada di kampong kami, bernama Masjid Asy Syura.
Kik Nuje, bagi kami urang
Pangkallalang (juga orang Belitong) memang segalanya. Menjadi tempat begantung
urang se Pangkallalang saat berbuka puasa, waktu imsyak, waktu sholat hingga keberesihan
mesjid.
Kik Nuje juga selalu jadi
‘bahan’ anak-anak muda kampong kami. Bahan ledekan, mulai dari bikin keributan di
shaf belakang waktu sholat berjamaah, menyembunyikan sandal, hingga kentut
waktu sholat. Kenakalan anak-anak.
Nggak jelas apa sebenarnya
kriteria penunjukan seorang Kik Nuje Mesjid Asy Syura. Yang jelas, cuma satu syarat
mutlaknya. “Pengawean” alias ringan tangan. Urusan kealiman atau pengetahuan
ilmu agama kadang-kadang bukan syarat utama yang utama. Contoh ringan, mulai dari
Kik Nuje sebelum Kik Syarif hingga Kik Syarif, dipastikan nggak ada satu pun
yang bisa diandalkan untuk adzan.
Pendek kata, kalau sampai
Kik Nuje ngebang (karena tepaksa) dipastikan suaranya tidak semerdu muadzin
sesungguhnya. Nggak ada bagus-bagus dan merdu-merdunya.
Lebih aneh lagi, sangat jarang
Kik Nuje menjadi imam sholat berjamaah. Pernah suatu kali, karena di masjid
tidak ada petugas yang biasanya adzan, tepakse la Kik Sayrif adzan sendiri,
juga qomat sendiri. Dan, beliau juga yang jadi imam. Sementara yang jadi makmum
hanya segerombol anak-anak kecil yang memang selalu sholat berjamaah setiap
Maghrib dan Isya. Jadilah sholat berjamaah kali itu menjadi “ajang pembantaian”
Kik Syarif oleh biang-biang keributan di Masjid Asy Syura.
Sudah suara beliau membaca
ayat pendek nggak kedengara, membacanya cepat pula. Sementara makmumnya ada
yang tertawa-tawa, ada yang pst pst, ada yang senyum-senyum, ketut malah hanya
duduk saja. Sholat berjamaah itu pun berakhir tragis. Belum selesai Imam
membaca salam akhir makmumnya kabur entah kemana gerangan. Dan, setelah sholat,
Kik Syarif hanya bisa mengurut dada.
Ah, Kik Syarif. Mungkin ikam (sebutan untuk orang lebih tua
dalam Bahasa Belitong, red.) sudah
enak dan damai berada di sisi Sang Khalik. Tapi, bagaimana cara ikam menuntun sepeda, bagaimana
menjaga sendal, bagaimana dengan handuk kecil di bahu berkipas-kipas
di sudut masjid tetap tidak bisa lepas dari kami anak-anak Pangkallalang.
Bahkan, kami masih bisa mendengar suara ikam
mengusir kami dan melototin kami menyuruh maju maju meluruskan shaf. Semuanya,
masih terasa sampai sekarang.
Kik Nuje. Masih terbayang keikhlasan
ikam setiap malam takbiran melihat kulit
bedug kebanggaan kita terbelah dua akibat dipukul anak-anak menggunakan pakai kayu
pelawan yang dibawa dari rumah, bukan pemukul bedug masjid seharusnya. Bedug
pecah, tapi suara bedug lebaran besoknya tetap betalu-talu. Entah teknik apa
yang ikam kembangkan saat memukul
bedug pecah itu.
Kik Nuje, sekarang mesjid kita
sudah bagus bentuknya. Tempat wudlu’ sudah bagus. Tidak ada lagi
bau WC berkeliaran kemana-mana hingga ke tempat wudlu’. Andai ikam masih hidup, mungkin nggak akan terlalu kepanasan lagi. Lantai
masjid kita sudah nyaman untuk ikam tidur-tiduran,
kipas angin sekarang sudah banyak dalam mesjid. Ikam juga tidak perlu memeras tenaga ekstra untuk menggulung tikar,
karena sudah banyak ambal untuk alas sembayang pengganti tikar di mesjid kita.
Kik Nuje, kami tidak
tahu berapa ikam digaji saat menjadi
nuje. Tapi kami urang Pangkallalang juga nggak terlalu peduli berapa gaji ikam. Yang kami tahu ikam ada dalam mesjid. Ikam yang paling awal datang dan membuka masjid dan
paling akhir nutup mesjid. Kami tidak tahu, bagaimana membalas jasa ikam. Jujur kami tidak tahu. Yang kami tahu cuma ngolok-olok ikam, padahal kami juga tidak tahu apa
salah ikam hingga senang benar
anak-anak muda di Pangkallalang mengolok-olok ikam.
Kini, yang kami tahu, Kik
Syarif sudah diganti oleh Bang Reman. Itulah Kik Nuje Masjid Asy Syura Pangkallalang,
ditunggu tapi rajin diganggu. Maaf kan kami Kik Nuje. (BULE SAHIB)
No comments:
Post a Comment