Pages

Monday, September 29, 2014

Cerita Rakyat Belitong

SENIANG GARU




ALKISAH di sebuah keleka’ (kampung kecil) di daerah Gunung Beluru, Kecamatan Membalong, Belitung, tinggallah tujuh bersaudara. Mereka tinggal di keleka’ yang sama, namun rumah tempat tingal mereka terpisah satu sama lain. Enam dari mereka sudah berkeluarga dan tinggal bersama suami masing-masing. Sedang si bungsu, yang belum menikah, tinggal sendiri di rumah peninggalan orang tuanya.

Sulung dari tujuh bersaudara tersebut, oleh adik-adiknya, dipanggil Ka’ Nam. Lalu berturut-turut, Kak Ma’, Kak Pat, Kak Ge, Kak Ua dan Kak Tu. Sedang si bungsu tetap dipanggil Bungsu.
Sebagaimana umumnya penduduk keleka’ di Belitung, saat itu, sumber kehidupan tujuh bersaudara ini mengandalkan alam, seperti dari hasil berburu, menangkap ikan baik darat maupun laut, dan menanam padi di ume  (ladang, red.).

Satu hari tujuh bersaudara ini bersama-sama pergi nanggok ikan di sungai. Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat ke sungai. Setelah hampir setengah hari, si bungsu belum juga mendapatkan hasil. Tak seekor ikan pun ia peroleh. Padahal keenam kakaknya masing-masing sudah mendapat se-ambong penuh.

Akan halnya si bungsu, setiap kali ia mengangkat tanggok selalu saja ia dapatkan sepotong kayu hitam. Berkali-kali ia mengangkat tanggok setiap kali pula kayu yang telah dibuangnya masuk ke dalam tanggoknya. Setelah memperhatikan arus sungai itu, si bungsu pun menemukan kejanggalan dengan kayu tersebut. Si Bungsu pun terheran-heran jadinya.

Melihat arus air, seharusnya kayu hitam itu tidak akan masuk ke dalam tanggoknya, sebab ia menghadap mengikuti arus. Cuma, faktanya, kayu itu justru melawan arus dan masuk ke tanggoknya. Melihat kejanggalan itu, tanpa fikir panjang, kayu itu pun ia masukkan ke dalam ambongnya. Setelah itu si Bungsu kembali menanggok.

Namun, kendati matahari sudah berada di atas ubun-bun, tetap saja tak memperoleh hasil. Dengan sedih ia pun berhenti menanggok. Untuk mengelabui kakak-kakanya, dan menyembunyikan kayu hitam di dalam ambong, ia mengisi ambong dengan daun-daunan. Ia merasa malu, karena tak mendapatkan hasil. Apalagi, untuk kegiatan yang mereka lakukan bersama, selama ini si Bungsu selalu menjadi bulan-bulanan dan keusilan kakaknya.
Menjelang sore tujuh bersaudara itu pun sepakat pulang. Si bungsu berjalan paling belakang. Ia takut isi ambongnya diketahui keenam kakaknya yang usil. Kebetulan pula rumahnya terletak di deretan paling ujung.

Saking lelahnya, begitu tiba di rumah, ambong berisi kayu hitam tadi, digeletakkannya begitu saja di dekat tangga. Dibawa rasa kesal –karena tak dapat ikan- si Bungsu pun masuk rumah dan langsung tidur. Saking lelapnya, ia dibuai mimpi indah. Dalam mimpinya ia merasa ada yang mengusap-usap dan membelainya.

Begitu bangun dari tidur lelapnya, betapa terkejut si Bungsu. Di sebelahnya tergolek seorang pemuda tampan. Dari tubuhnya menebar bau wangi. Tanpa rasa takut si pemuda itu langsung menutup mulut si Bungsu ketika ia mau berteriak.

“Jangan berteriak puteriku, aku bukan orang jahat. Tenang dan berjanjilah dulu bahwa kau tidak akan berteriak jika kubukakan mulutmu,” ucap pemuda itu. Si Bungsu pun mengangguk. Lalu pemuda itu pun melepaskan bekapan tangannya.
“Siapa kau sebenarnya? Apa maksudmu berani tidur di sebelahku?” tanya si Bungsu.

“Namaku Bujang Megat dan asal usulku adalah dari sepotong kayu yang kau dapatkan di sungai tadi pagi,” jawab pemuda itu.

Ditatapnya wajah Bujang Megat dan betapa bahagianya si Bungsu karena pemuda itu sesuai idaman hatinya selama ini. Ia pun berkhayal betapa bahagianya jika Megat bisa menjadi suaminya kelak.

Sejenak suasana hening. Dan ketika si Bungsu mau beranjak dari pembaringannya, Megat menahannya. “Jangan pergi,” kata Megat. “Biarlah kita berbincang-bincang di pembaringan ini,” lanjutnya.

Masih di pembaringannya si Bungsu pun bercerita tentang keadaan pribadinya kepada Megat. Setelah tahu latar belakang si Bungsu, timbul hasratnya untuk membantu meringankan beban si Bungsu. Ia pun, dengan berani, mengutarakan niatnya untuk mempersunting si Bungsu.
Tapi, alangkah terkejutnya Megat ketika si Bungsu menjawab, “Karena aku masih punya saudara, lebih baik kita tunggu saja bagaimana keputusan kakak-kakakku, terutama Kak Nam yang kami anggap pengganti orang tua.”

Artinya, Megat masih harus menunggu keputusan dari enam saudara si Bungsu. Karena itu Megat harus pula menceritakan asal-usulnya. Cuma, kepada si Bungsu, Megat merasa tidak akan mampu menceritakan seluruh asal-usul hidupnya. ”Lalu apa maumu,” begitu sahut si Bungsu yang hatinya sudah kepincut berat dengan Megat dan dalam hatinya telah memutuskan akan menyerahkan dirinya secara utuh kepada Megat.

“Kalau begitu, baiklah. Lebih baik kita bersembunyi saja dulu di rumahnya. Sementara kau menanti saat yang tepat untuk menyampaikan segala hal tadi kepada kakak-kakakmu,” jawab Megat.

Namun, sambung si Bungsu, ada satu hal yang belum ia ceritakan tentang kakak-kakaknya. Terutama tentang Kak Nam. Sebagai anak sulung, saat ini ia adalah pengganti orang tua mereka. Keenam adik-adiknya sangat takut kepada Kak Nam. Sebab perangainya buruk. Selalu ingin memiliki apa saja barang kesayangan adik-adiknya. “Kuakui aku khawatir kalau melihatmu, sifat serakahnya akan muncul lagi dan kemudian berusaha merebut kau dari tanganku,” ucap si Bungsu.

“Kalau begitu hambatan yang akan kita hadapi, baiklah kita bertahan saja seperti kataku tadi,” jawab Megat.

Akhirnya putuslah mufakat. Mereka berdua untuk sementara akan menyembunyikan Megat dulu sampai saat yang tepat tiba untuk menyampaikan perihal mereka kepada kakak-kakaknya.

Si Bungsu pun segera bangkit dari pembaringannya dan menyiapkan makan malam seadanya. Untuk membersihkan badan, Megat pun baru pergi ke sumur pada malam hari tanpa penerangan apapun, agar tak dilihat orang. Mereka berdua pun akhirnya melalui malam itu berdua sambil mengatur strategi menyembunyikan Megat.

Sebagai bagian dari rencana, si Bungsu pun menjahit kelambu tujuh lapis. Mereka telah sepakat, Megat tidak diperbolehkan keluar rumah dan hanya boleh tinggal di tempat tidur dengan berlapiskan tujuh kelambu. Dengan cara demikianlah, akhirnya, mereka melalui waktu-waktu berikutnya bak sepasang remaja yang tengah mabuk kepayang.

Namun, kehadiran Megat tak urung merubah perilaku si Bungsu. Wajahnya selalu ceria. Tak lagi muram seperti sebelumnya. Halaman rumah dan dalamnya pun bersih layaknya kediaman orang yang sudah berkeluarga. Dan, Megat, menjadi pria pingitan.

Siang hari si Bungsu harus menahan hasratnya bermesraan dengan sang pujaan hati yang tersembunyi di balik kelambu. Megat pun harus menahan diri, tetap berdiam dibalik kelambu. Padahal ia sangat ingin menikmati udara segar di luar. Karenanya, mereka baru bisa menikmati keindahan itu dengan penuh canda dan tawa ria, pada malam hari.

Perubahan pada si Bungsu tak luput dari perhatian Kak Nam, sebagai kakak tertua. Suatu hari Kak Nam berkunjung ke rumah si Bungsu. Betapa kagetnya ia menemui suasana rumah yang tertata apik dengan bau wewangian yang begitu semerbak. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat, begitu duga Kak Nam dalam hati.

“Akhir-akhir ini kau kelihatan berubah, adikku,” kata Kak Nam. “Dari kejauhan sering kudengar kau tertawa cekikikan seperti sedang berbicara dengan seseorang,” lanjutnya.

“Ah kakak ada-ada saja,” jawab si Bungsu. “Biasa-biasa saja, kak,” jawabnya lagi. “Hitung-hitung belajar mempersiapkan diri menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Karena itu suasana rumah ini kubuat sedemikian rupa. Sedang malam selalu kugunakan bicara dengan kucing dan binatang lain yang kubawa masuk ke dalam rumah. Tak ada siapa-siapa di rumah ini,” jawab si Bungsu lagi.

Kak Nam, sebetulnya, belum puas dengan jawaban si Bungsu. Ia masih tetap penasaran. Kendati demikian, agar tak mengundang curiga, ia mengiyakan saja jawaban adik terkecilnya itu.
Seminggu kemudian Kak Nam kembali berkunjung ke rumah si Bungsu. Ketika itu si Bungsu sedang memasak di dapur. Kak Nam ingin makan sirih. Namun di keminangan (tempat sirih,red.) ia hanya menemukan pinang dan sirih. Sementara kapurnya tak ada.  Ia pun lalu bertanya, ”Dik, aku mau makan sirih. Mana kapurnya?”

Tanpa sadar, si Bungsu menjawab, “Ambillah sendiri dalam kelambu. Semalam bekas kami ambil sedikit untuk makan sirih”

Mendengar jawaban itu, Kak Nam langsung ke kamar dan membuka kelambu. Amboi, alangkah
banyaknya lapisan kelambu adikku ini, gumamnya dalam hati.

Tapi, begitu membuka kelambu, ia betul-betul kaget. Di dalam kelambu itu menemukan kenyataan yang betul-betul di luar dugaannya. Seorang pemuda tampan, Bujang Megat, tergolek dalam keadaan tertidur pulas.

Akhirnya, tahulah Kak Nam bahwa, dengan pemuda inilah selama ini si Bungsu bercanda sekaligus telah merubah total perilakunya. Melihat pemuda tampan itu, lalu, muncullah sifat serakahnya dan di dalam hatinya ia sangat ingin memilikinya.

Setelah itu Kak Nam pun mengambil tempat sirih yang terletak dekat kepala Megat, menghampiri adiknya. “Adikku, yang ada di dalam kelambu kuambil juga buat mainanku di rumah,” tiba-tiba kata Kan Nam kepada si Bungsu.

Mendengar ucapan Kan Nam bukan alang kepalang kagetnya si Bungsu.

Tahulah ia apa yang telah terjadi. Tapi berat juga baginya untuk memberikan jawaban yang menyenangkan. Sementara, jika ditolak, kakaknya akan marah besar. Sementara jika diterima ia akan kehilangan pemuda idamannya itu.

Akhirnya dikuatkan juga untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Kak Nam. "Kak Nam, kali ini aku minta dengan sangat untuk mengerti. Yang lain boleh diambil, tapi yang ini jangan. Betapa pun inilah hartaku yang paling kuhargai dan sayangi,” jawab si Bungsu. “Bahkan, jika kakak setuju, kami akan segera menikah,” lanjutnya.

Mendapati jawaban itu sikap serakah dalam diri Kak Nam kian mengembang. Rupanya ia pun sudah menyiapkan hasutan untuk menggagalkan pernikahan adiknya.

“Baiklah, adikku. Tapi sudah tahukah engkau akan hal-hal yang harus dilakukan seorang istri?”
tanya Kak Nam.

“Ya, semuanya sudah kupelajari dan kucoba sendiri di rumah ini semampuku,” jawab si Bungsu.

“Kalau begitu, sekarang, coba katakan apa yang telah kau coba jalankan itu,” kata Kak Nam.

“Pagi-pagi aku akan siapkan pelampun (bahasa setempat yang dalam bahasa Indonesia berarti sarapan pagi, red.). Setelah itu kusediakan pakaian untuk ke hutan, dan saya siap mencuci pakaian kotornya, makan siangnya, saya siapkan kopi ketika ia bangun sore hari. Dan, malam hari, jika ia membutuhkan, aku menyiapkan diri untuk melayaninya sebagai seorang istri yang baik. Dan sebagai seorang istri yang suaminya bekerja di hutan, aku harus hafal dimana ia meletakkan parang, kampak, beliung dan sebagainya. Jelas kak?!” cerita si Bungsu.

“Amboi, hebat sekali kau Bungsu. Rupanya kau memanjakan suamimu seperti kau melayani seorang raja. Sementara engkau, persis babunya. Sebagai seorang kakak, apalagi yang tertua, aku tidak sependapat dengan caramu melayani suami sebagaimana kau sebutkan tadi. Itu berarti kau menjatuhkan martabat keluarga kita. Kau lihat sendiri abangmu di rumah. Kalau mau makan, ia masak sendiri; mau minum buat sendiri. Semuanya serba sendiri. Abangmu tak pernah kumanjakan hingga ia bisa sendiri tanpa aku. Tapi, mana berani ia meninggalkanku,” Kak Nam coba menghasut adiknya.

Setelah difikirkannya benar juga pendapat Kak Nam. Dipengaruhi rasa takut kepada Kak Nam serta rasa khawatir akan dijadikan budak di rumah sendiri, akhirnya si Bungsu pun membenarkan dan menyetujui pendapat kakaknya. “Kalau begitu baiklah kak, aku akan mencoba apa yang telah kakak sarankan,” ungkapnya.

“Nah itu baru adikku. Nanti semua ini, termasuk keberadaan pemuda itu di rumahmu akan kusampaikan kepada saudara kita yang lain,” jawab Kak Nam sambil memeluk adiknya.
Begitulah akhirnya, keesokan harinya, semua kakaknya mengetahui latar belakang perubahan si Bungsu. Namun, semuanya tak setuju saran Kak Nam. Namun, karena takut, mereka hanya bisa mengurut dada saja, tanpa bisa menemukan jalan keluar bagi si Bungsu. Pahit sekali apa yang dialami si Bungsu. Mendapatkan jodoh tapi disarankan untuk tidak menjadi istri yang baik.
Dengan hati mantap dan keteguhan hati, si Bungsu melakukan apa yang disarankan Kak Nam. Dan, betapa kagetnya Megat, ketika bangun pada suatu pagi. Ia tidak menemukan sarapan seperti biasanya. Si Bungsu pun tidak bangun pagi seperti biasanya. Yang ia lihat hanya sebuah beliung yang diletakkan sedemikian rupa di atas pintu, sehingga begitu pintu itu dibuka beliung akan tepat mengenai kepalanya, hingga Megat akan mati seketika.

Mendapati kondisi demikian, segeralah ia membangunkan si Bungsu, untuk meminta penjelasan. Setelah bangun si Bungsu pun langsung menceritakan apa yang terjadi. Setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, mengertilah Megat maksud tersembunyi dibalik saran Kak Nam. “Beliung di atas pintu itu untuk mebunuhku kan!” hardiknya kepada si Bungsu.

Ketahuilah, lanjutnya, “Apa yang kau lakukan kepadaku selama ini adalah sudah benar seperti yang harus dilakukan kepada seorang suami.” “Dan, jangan lupa. Kita harus menyaring setiap saran dari siapa pun, termasuk dari kakak kita. Licik sekali kakak mu itu Bungsu,” hardik Megat.
Dihardik demikian, bukan main marahnya si Bungsu. “Beraninya kau mencaci maki kakakku. Dasar tak tahu diuntung. Sudah kulayani lahir bathin, kau malah berterima kasih, malah mencaci kakakku. Dasar manusia kayu, kau Megat,” si Bungsu balik menghardik Megat.

Mendengar hardikan si Bungsu yang membawa-bawa ‘sejarahnya’, Megat sadar hasutan Kak Nam sudah begitu merasuk dalam diri si Bungsu. Megat hanya bisa menerimanya dengan kepala dingin.
Lalu, ia pun berkata, “Baiklah Bungsu. Karena matahari sudah agak tinggi tolong sediakan tujuh lepat dan tujuh telur rebus, untuk bekal kembali ke hutan hari ini.”

Dengan berat hati, akhirnya, si Bungsu pun menyiapkan bekal untuk Megat. Sambil menyediakan bekal buat Megat, seketika ia sadar bahwa Megat benar. Setelah lepat dan telur dibungkus, si Bungsu pun meminta agar Megat tak kembali ke hutan hari ini. Namun, walau si Bungsu bersikeras melarangnya, hati Megat telah bulat. Kembali ke hutan.
Megat pun berusaha merayu Si Bungsu dengan nyanyian, syair dan pantun asmara sehingga ia tertidur. Inilah saat yang ditunggu-tunggu Megat, dan pergilah ia meninggalkan si Bungsu yang tertidur lelap.

Ketika si Bungsu terbangun, dilihatnya Megat sudah tak ada lagi di rumah. Dicarinya ke rumah kakak-kakaknya, juga tak ditemui. Termasuk ke rumah Kak Nam, kali-kali ia menculik Megat.
Lalu, si Bungsu pun menyusul ke hutan. Di hutan ditemukannya Megat sedang duduk melamun. Ketika ia mendekat terkejutlah Megat. Si Bungsu pun merangkul Megat, merayu mengajaknya pulang. Sementara Megat sadar bahwa ia tidak boleh takluk dengan rayuan itu.

Ia pun mulai beryanyi dan berpantun untuk menenangkan hati si Bungsu. Tak lama kemudian si Bungsu tertidur. Kesempatan itu digunakan Megat untuk melanjutkan perjalanannya. Sambil berjalan ia berfikir, kalau terus berjalan ia akan kecapekan dan pasti si Bungsu akan menemukannya kembali. Sedang untuk menyanyi dan berpantun ia sudah tak bisa lagi. Sudah habis nyanyian dan pantun yang diketahuinya.

Akhirnya ia memutuskan untuk bersembunyi di dalam lekukan pohon kayu yang telah buruk. Konon, pohon kayu tempat Megat bersembunyi itu, adalah pohon Gaharu.
Adalah si Bungsu yang tertidur oleh senandung nyanyian dan pantun Megat. Ketika terbangun dilihatnya Megat tak ada lagi di sekitarnya. Ia pun sesenggukan menangis tak henti-hentinya di tengah hutan.

Ketika ditemukan penduduk kampungnya yang tengah berasu’ (berburu menggunakan anjing -asu’: bahasa setempat, red.), si Bungsu tak dapat dibujuk-bujuk untuk kembali. Ia terus menangis dan menanggil-manggil Megat agar kembali. Tapi, nasi sudah jadi bubur. Persembunyiannya di lubang kayu sekaligus menghakhiri petualangannya di dunia manusia. Ia telah kembali ke asalnya. Sepotong kayu.

Konon, dari cerita itu, setelah itulah kayu gaharu berbau wangi. Wewangian itu dipancarkan dari tubuh Bujang Megat yang selalu memancarkan wewangian.

Menurut cerita para pencari kayu gaharu, yang marak di Belitung pada 1983-1984, setiap ke hutan selalu membawa bekal tujuh telur rebus dan tujuh lepat, dan sebagai pemotong selalu menggunakan beliung.

Diceritakan pula pernah terjadi seorang pencari kayu gaharu ditemukan tidak bernyawa lagi. Menurut orang-orang jago di dunia perdukunan pencari kayu gaharu itu mati ketakutan karena bertemu dengan seorang perempuan cantik di tengah hutan, yang tak lain adalah si Bungsu.
Menurut cerita pula, setelah ditemukan penduduk kampungnya meninggal dunia, arwahnya terus berkeliaran di hutan-hutan Belitung. Ia mencari Bujang Megat, sang idaman hati, yang telah berubah menjadi Seniang Garu.

Narasumber: Dukun Midi –salah satu dukun terkenal di Membalong dan cukup dikenal kalangan perdukunan Belitung- yang menceritakannya kepada Arfan Syahabudin (Pak Pe’), tokoh masyarakat Belantu, mantan anggota DPRD II Belitung, sekarang sudah almarhum. Cerita ini diceritakan Dukun Midi pada 1984 dan diceritakan kembali oleh Pak Pe’ pada 1986, ketika beliau masih berumur 41 tahun, atau 18 tahun silam.
Narasumber tidak memberikan syair pantun dan nyanyian yang disenandungkan Bujang Megat. Sebab syair itu mantera gaib untuk mencari gaharu. Bahkan, menurut Pak Pe’, jika syarat tujuh telur rebus dan tujuh lepat serta beliung terpenuhi, dengan mantera berupa pantun dan syair yang pernah dinyanyikan Bujang Megat, seniang garu yang terdapat di tengah pohon garu akan bersinar.

Taken from : cerite kampong dari kampoeng halaman, edited by bule SAHIB

No comments:

Post a Comment