Pages

Thursday, October 2, 2014

APA YANG BISA DILIHAT DI BELITUNG?

TANJUNG PANDAN: Dari Sunrise hingga Sunset   

YUPS. Apa yang bisa dilihat di Belitung selalu menjadi pertanyaan banyak calon pelancong saat merencanakan perjalanannya ke Belitung. Apakah hanya sekadar pantai yang muncul beberapa detik dalam scene film Laskar Pelangi, yang nota bene hanya Pantai Tanjung Tinggi saja?
Jawabnya tentu saja tidak. Pantai Tanjung Tinggi hanyalah salah satu dari puluhan pantai yang nyaman untuk dikunjungi di Belitung. Semua pantainya berkarakter sama. Berpasir putih, air jernih, susunan tak beraturan batu granit berukuran besar, berombak tenang nyaris tak beriak dan tanpa suara deburan ombak.
Ya, jika melakukan perjalanan wisata ke Belitung, memang bukan hanya Pantai Tanjung Tinggi yang layak dikunjungi. Jika perjalanan tidak dilakukan secara terburu-buru, banyak pantai bisa dikunjungi, banyak ragam kuliner bisa dikecap, banyak adat istiadat yang bisa diselami dan souvenir bisa dibawa pulang.
Nah bagi yang memiliki waktu kunjungan singkat tak pula perlu pesimis karena tidak bisa menikmati Belitung lebih dalam [more depth Belitong]. Ada shortcut perjalanan yang bisa dilintasi untuk mendapatkan potongan-potongan kecil wisata yang jikan dirangkai bisa menggambarkan Belitung secara utuh. Kuncinya satu, cermat mengatur jalur perjalanan.

Memulai Perjalanan dari KM-0: Tugu Batu Satam
ADA dua titik untuk memulai perjalanan wisata di Belitung. Yaitu Bandara Hanandjoeddin jika menggunakan pesawat udara [dari Jakarta] dan Pelabuhan Tanjung Pandan jika menggunakan angkutan laut [dari Pulau Bangka tentu].
Idealnya, selepas dari Bandara Hanandjoeddin, perjalanan bisa dimulai dengan menguliti Kota Tanjung Pandan terlebih dahulu. Dari Bandara Hanandjoeddin hanya perlu waktu 15 menit menggunakan kendaraan roda empat untuk mencapai ibukota Kabupaten Belitung ini. Kondisi jalan sepanjang 15 kilometer yang dilintasi sangat mulus lus lus lus, beraspal hotmix.  Kota kecil ini sekarang (2014) berpenduduk sebanyak 90.000 jiwa, yang tersebar di 12 Kelurahan/Desa.
Setiba di Tanjung Pandan pelancong akan segera disuguhi aikon Kota Tanjung Pandan. Persis di tengah simpang lima, di kilometer nol Belitung, tersaji Tugu Batu Satam, sebagai penanda kota. Di puncak tugu yang disanggah 5 (lima) pilar terdapat sebuah batu hitam berukuran besar, mereplikkan batu satam yang sering disebut meteorit bilitonit.


Batu Satam sendiri merupakan batuan khas Indonesia yang hanya bisa ditemukan di Belitung. Batu berwarna hitam ini memiliki urat-urat yang khas dan tergolong batuan langka.
Batu ini terbentuk dari hasil proses alam atas reaksi tabrakan meteor dengan lapisan bumi yang mengandung timah tinggi jutaan tahun lalu. Serpihan batu meteor itu tersebar ke seluruh pelosok dunia seperti Australia, Cekoslovakia, Arab, dan di Indonesia tepatnya di Belitung. Saat jatuh di atas tanah Pulau Belitung, meteor ini bereaksi dengan kandungan timah yang sangat banyak terdapat di Pulau Belitung, sehingga membentuk batu hitam keras.
Batu Satam secara tak sengaja pertama kali ditemukan oleh penambang timah bertenis China pada tahun 1973 di Desa Buding, Kecamatan Kelapa Kampit, dalam penambangan timah dengan kedalaman 50 meter.
Konon, penamaan Batu Satam didasarkan pada nama penemunya yang terdiri dari dua suku kata, yaitu Sa dan Tam. Jika diartikan secara harfiah, Sa berarti pasir dan Tam berarti empedu. Sehingga Satam memiliki arti empedu pasir.
Batu Satam memiliki beberapa nama yakni Taktite dan Billitonit.  Istilah Taktite digunakan para ilmuwan yang meneliti Batu Satam, sedangkan istilah Billitonit digunakan seorang peneliti dari Belanda bernama Ir. N. Wing Easton yang melakukan penelitian terhadap Batu Satam pada tahun 1922.
Batu Satam sudah diuji Fakultas MIPA Universitas Padjajaran dan Laboratorium Kimia Mineral dan Lingkungan. Menurut penelitian ilmiah sekitar 700 ribu tahun lalu, sebuah meteor jatuh ke bumi Indonesia. Meteor inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Batu Satam.
Nah agar perjalanan pelancong afdol, jangan lah lupa untuk menyempatkan diri berfoto selfie di Tugu Batu Satam, sebagai bukti sudah menginjakkan kaki di Kota Tanjung Pandan. Ada dua waktu yang akan mendapatkan hasil foto yang eksotis di Tugu Satam. Yaitu pada pagi hari, sekitar pukul 05.30 pagi. Pada pagi hari sunset yang muncul persis di belakang tugu, akan menampilkan siluet tugu yang sangat eksotis. Waktu pemotretan kedua adalah malam hari. Terutama akibat cahaya lampu warna warni di kelima pilar tugu serta lampu sorot ke replika batu satam akan membuat tugu ini menjadi lebih hidup.


Puas berfoto selfie di Tugu Batu Satam, perjalanan bisa dilanjutkan ke Jalan Endek. Di sisi kanan jalan ini menuju Pasar Ikan, terdapat sebuah gedung tua. Untuk gedung tua ini ada orang menyebutnya Gedung Societed. Sejatinya gedung tua ini adalah salah satu heritage Belitung saat ini.
Konon, bangunan tua ini dulu adalah rumah Kapiten Phang Tjong Toen, seorang juru tulis tambang sejak John F. Loudon mulai membuka pertambangan timah di Belitung pada tahun 1853.
Disebutkan rumah ini dibangun pada tahun 1868. Rumah tua yang pernah difungsikan sebagai kantor organisasi politik dan kantor organisasi kepemudaan di era orde baru ini, saat dibangun memang berfungsi sebagai rumah kediaman Kapten Phang Tjong Toen. Hingga kini bentuknya tidak mengalami perubahan alias asli sebagaimana waktu dibangun sekitar 146 tahun silam.
Namun sebelum beranjak ke Jalan Endek, dari Tugu Batu Satam mendongak lah ke sebuah bangunan di depannya. Sebuah bangunan yang di atasnya terdapat sebuah jam berukuran besar, yang oleh masyarakat Belitung disebut jam gede. Dulu jam gede adalah landmark Kota Tanjung Pandan sebelum digantikan oleh Tugu Batu Satam.
Gedung tempat bercokolnya  jam gede itu sendiri tak kalah panjang sejarahnya. Gedung tersebut dulu adalah kantor Gemeenschaappelijke Mijnbouw Maatschaappij Billiton (GMB), perusahaan tambang timah milik Kerajaan Belanda di Belitung, yang kemudian berubah menjadi PN Timah Belitung, lalu menjadi Unit Penambangan Timah Belitung.
Akan halnya jam gede yang ada sekarang bukanlah jam yang aslinya. Konon, jam aslinya sama dengan jam yang ada di Kota Amsterdam, Belanda. Bandulnya terbuat dari kuningan dengan warna dasar agak kekuning-kuningan dan menggunakan  angka-angka Romawi.

Eksotisme Sunsrise di Pasar Ikan Tanjung Pandan
SETELAH melalui Jalan Endek, di ujung simpang jalan pelancong akan bertemu perempatan jalan. Berjalanlah lurus. Maka akan tampak sebuah papan nama jalan bertulisan Gang Kim Ting. Jika lurus menyusuri jalan ini akan bermuara ke Pasar Sayur dn Pasar Ikan Tanjung  Pandan.
Namun, sabar dulu. Di sisi kiri kanan jalan Gang Kim Ting ini banyak terdapat beraneka toko kelontong, yang sejak dulu hingga sekarang masih berjualan barang yang sama. Mulai dari keranjang rotan dua wadah disebut keranjang pempang. Yaitu sebuah keranjang rotan yang --sepertinya-- rancangannya mengadaptasi sepeda lalu sepeda motor. Hingga karena adanya penyambung di antar kedua wadahnya, maka menjadi praktis untuk ditaruh di dudukan belakang sepeda atau sepeda motor. Di toko ini juga dijual aneka kerajinan lokal yang bersifat fungsional. Semisal mentudongan [tudung saji], ambong [keranjang rotan satu wadah yang membawanya ditaruh di punggung atau disandang], sero, bubu dan aneka kerajinan rotan atau berbasis pandan semisal tikar, topi terindak dan lain-lain.
Bukan hanya itu. Di toko itu juga dijual aneka alat pancing, sandal lily, lampu pelita minyak tanah, lampu minyak tempel, petromak dan sebagainya.
Lurus mengikuti jalan Gang Kim Ting, akan ditemui Pasar Ikan Tanjung Pandan. Aneka jenis ikan segar laut dijual di pasar yang terletak di muara Sungai Cerucuk ini. Mulai ikan jambal, tenggiri, tongkol, ilak, kakap merah, kerisi, bingkis, udang, kepiting rajungan, hingga kimak. Pendek kata semua jenis biota laut yang bisa dimakan ada dijual di pasar ikan ini.
Jika berada di pasar sini pukul sepuluh pagi, cobalah berjalan ke sisi kiri dari lokasi pasar. Akan nampak pemandangan sangat indah dari jejeran perahu nelayan.
Sejati nya di sekitar pasar ikan ini terdapat satu lokasi pemotretan sangat baik untuk mengabadikan sunrise. Persisnya di ujung pelabuhan pasar ikan, tempat penyeberangan perahu menuju ke Desa Juru Seberang. Pemandangan pagi hari di lokasi ini sangat mengagumkan. Saat sunrise muncul, akan nampak rona merah menawan. Seiring itu muncul pemandangan tersamar menjadi jelas pelabuhan minyak milik PERTAMINA, Bukit Dian, belakang pasar, lalu lalang perahu nelayan yang mulai berangkat melaut, dan udara pagi yang segar. Jika ke Belitung saya merekomendasikan lokasi ini sebagai pilihan untuk menikmati sunrise.


Berseberangan dengan pasar ikan, terdapat Pelabuhan Tanjung Pandan. Jika berada di sini pada malam hari, akan terdapat pemandangan indah sangat memesona. Lampu kapal yang samar menerangi badan dan tiang kapal terefleksi sempurna pada kolam pelabuhan menyajikan keindahan luar biasa. Saya pun merekomendasikan lokasi Pelabuhan Tanjung Pandan sebagai tempat yang bagus untuk dikunjungi pada malam hari, terutama bagi yang menyukai fotografi.



Sunset di Tanjung Pendam
SANGAT mafhum bila sebuah kota di pinggir pantai memiliki urban beach tempat warga kota melepaskan diri dari kepenatan rutinitas sepanjang hari. Pun dengan Tanjung Pandan.
Adalah Pantai Tanjung Pendam. Pantai berjarak satu kilometer dari aikon kota Tugu Batu Satam ini merupakan tempat favorit bagi warga Kota Tanjung Pandan untuk sekadar berhibur diri dan keluarga.
Terletak di sebuah tanjung, jika cuaca cerah, Pantai Tanjung Pendam menjadi tempat ideal untuk menikmati turunnya secara matahari perlahan. Rona senja merubah langit menjadi merah kuning bak kuning telor. Keindahan rona warna itu disempurnakan oleh cahaya matahri yang membias di permukaan air laut. Keindahan senja di Tanjung Pendam akan semakin membuncah jika dipadu dengan latar belakang sebuah pulau kecil bernama Kalimoa serta pohon bakau yang banyak tumbuh di beberapa bagian pantai.
Masih di kawasan Pantai Wisata Tanjung Pendam, bagi yang ingin mengetahui sedikit gambaran tentang timah di Belitung, bisa berkunjung ke Museum Timah Belitung, tepatnya Museum Belitung.
Museum yang sejatinya dibangun dengan konsep museum geologi ini, dirintis atas prakarsa dr. Osberger seorang ahli geologi berkebangsaan Belgia pada tahun 1963. Konon, dulu bangunan museum ini adalah rumah kuno peninggalan pejabat Belanda. Buka sejak pukul 08.00 WIB pagi hingga sore museum ini menampilkan berbagai koleksi semisal keramik dan gerabah Cina yang ditemukan dari kapal dagang yang tenggelam di perairan Belitung. Museum ini juga menyajikan aneka koleksi  senjata, pakaian adat, furniture dan banyak lagi.
Terkait sejarah timah, museum ini menampilkan aneka contoh batu-batuan yang didapat dari kegiatan penambangan timah di Pulau Belitung. Museum ini juga menampilkan maket penambangan timah abad 18 hingga modern, maket kapal keruk timah yang kini sudah tidak beroperasi karena sangat merusak lingkungan. Sementara pada bagian halaman terdapat peninggalan kereta pengangkut timah zaman dahulu.

Uniknya, di bagian belakang museum ini terdapat kebun binatang mini dengan koleksi hewan seperti orangutan, burung, ular dan lain-lain.




Tuesday, September 30, 2014

Tentang Belitung... / About Belitung


Tentang Pulau Kami, BELITONG


“Kamu Belitung atau Bitung? Di Sulawesi dong.” Dua puluh tahun silam, karena kedekatan antara bunyi sebutan Belitung dengan Bitung, banyak orang bingung dimana letak Belitung sebenarnya.

Kini, setelah Belitung banyak terpublikasi, pertanyaan persisnya tentang Belitung pun juga masih menggema. Setelah menjadi provinsi sendiri, Kepulaua Bangka-Belitung, banyak yang mengira Bangka dan Belitung itu masih satu pulau.

Padahal Belitung memiliki sejarah sangat panjang. Sejarah mencatat pada akhir abad Ke-7 Belitung merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Sriwijaya. Di saat Kerajaan Majapahit, pada tahun 1365 Belitung ini menjadi salah satu benteng pertahanan laut Majapahit.

Palembang sendiri, baru menaklukkan Belitung pada abad ke-15, di saat  di Belitung sudah ada empat kerajaan lokal. Yaitu Kerajaan Badau, Kerajaan Balok, Kerajaan Belantu dan Kerajaan Buding yang merupakan bagian dari Kerajaan Balok.
Pada abad ke-17, Pulau Belitung menjadi jalur perdagangan dan tempat persinggahan kaum pedagang Cina dan Arab. Sementara sejarawan Cina Fei Hsin (1436) mencatat orang Cina sudah mengenal Belitung pada tahun 1293, akibat sebuah armada Cina dipimpin Shi Pi, Ike Mise dan Khau Hsing yang sedang mengadakan perjalanan ke Pulau Jawa terdampar di perairan Belitung.
Cikal kolonisasi Belanda di Belitung bermula tahun 1668. Saat sebuah kapal Belanda bernama 'Zon De Zan Loper', dibawah pimpinan Jan De Marde, mendarat di Sungai Balok, satu-satunya bandar di Belitung yang saat itu ramai dikunjungi pedagang asing.
Berdasarkan penyerahan Tuntang pada 18 September 1821, Belitung termasuk wilayah kekuasaan Inggris. Namun, secara de facto telah terjadi pada 20 Mei 1812.
Berdasar Surat Keputusan Komisaris Jenderal Kerajaan Inggris tanggal 17 April 1817, Inggris menyerahkan Belitung kepada Kerajaan Belanda. Atas nama Baginda Ratu Belanda, ditunjuk seorang Asisten Residen untuk menjalankan pemerintahan di Pulau Belitung.
Pada tahun 1823, JP. De La Motte, seorang Asisten Residen sekaligus pimpinan tentara Kerajaan Belanda berpangkat Kapten berkebangsaan Belgia,  menemukan timah di Belitung. Seusai Traktat London (1850), penambangan timah diambil alih Billiton Maatschapij, sebuah perusahaan penambangan timah milik Pemerintah Belanda.
Tentara Jepang mulai menduduki Pulau Belitung sejak April 1944. Namun, setelah pada awal 1945 sempat membentuk Badan Kebaktian Rakyat yang bertugas membantu pemerintahan, masa pendudukan Jepang berakhir. Onder Afdeling Belitung kembali dikuasai Belanda pada 1946 dan kembali diperintah Asisten Residen Bangsa Belanda. Sementara penguasaan distrik tetap dipegang oleh seorang Demang yang kemudian diganti dengan sebutan Bestuurhoofd.
Di masa awal kemerdekaan Belitung beberapa tahun pernah menjadi bagian dari Gewest Borneo, lalu menjadi bagian Gewest Bangka - Belitung dan Riau. Setelah muncul peraturan yang  mengubah Belitung menjadi Neolanchap, pada 1947 dibentuk Dewan Belitung sebagai badan pemerintahan.
Pada waktu pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), Neolanchap Belitung merupakan negara tersendiri, bukan sebagai negara bagian. Tahun 1950 Belitung dipisahkan dari RIS dan digabungkan dalam Republik Indonesia. Pulau Belitung menjadi sebuah kabupaten yang termasuk dalam Provinsi Sumatera Selatan dibawah kekuasaan militer, karena pada waktu itu Sumatera Selatan merupakan Daerah Militer Istimewa. Sesudah berakhirnya pemerintahan militer, Belitung kembali menjadi kabupaten yang dikepalai oleh seorang Bupati.


Kini, Belitung terbagi menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Belitung, beribukota di Tanjung Pandan, dan Belitung Timur, beribukota Manggar.
Secara geografis, Belitung (orang local melafalnya Belitong), adalah sebuah pulau di lepas pantai timur Sumatra, Indonesia, terletak pada 107°31,5' - 108°18' Bujur Timur dan 2°31,5'-3°6,5' Lintang Selatan, diapit Selat Gaspar dan Selat Karimata. Belitung bertahun-tahun terkenal sebagai penghasil timah. Belitung juga kaya dengan bahan tambang lainya, semisal bahan tambang tipe galian-C  pasir kuarsa, tanah liat putih (kaolin), dan granit. Kekayaan ini mengalahkan kekayaan alam lainnya semisal lada putih (Piper sp.) --dalam bahasa setempat disebut sahang— dan hasil laut.

Akhir-akhir ini pulau seluas 4.800 km² atau 480.010 ha yang dimukimi oleh suku Melayu (bertutur dengan dialek Belitung) dan keturunan Tionghoa Hokkien dan Hakka ini mulai dikenal sebagai tujuan wisata alam alternatif.




Kisah Kampung Kami / About My Village, Pangkallalang

KIK NUJE DAN SECALONG BERAS

Mesjid Asy Syura Pangkallalang adalah salah satu saksi perkembangan generasi muda Pangkallalang. Dan, saksi kuncinya adalah Kik Nuje, dengan Legendanya Kik Syarif.
==================================================================================

Assalamualaikum. Wr wb.” “Waalaikum salam, masuk kek, tunggu sebentar ya.” Sekejap kemudian sang kakek yang megucap salam tadi sudah membaca doa. Duduk di pinggir pintu, atau di kursi tamu atau di atas selembar tikar agak lusuh. Mata nya terpejam-pejam, kepalanya teranguk-angguk, mulutnya komat kamit. 

Khusuk kakek itu membaca doa, si empunya rumah mengambil karung gandum yang dibawa si kakek. Langsung menuju pendaringan beras (tempat menyimpan beras, bahasa lokal, red.).  Seusai sang kakek membaca doa, karung gandum itu pun sudah dikembalikan kepada si empunya. Kakek ini, kadang diberi minum kadang ndak oleh si empunya rumah.

Sepanjang tahun 1970- 80 an, pemandangan seperti itu selalu bisa ditemui setiap hari Kamis, di kampong kami Pangkallalang, Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Ya, hari Kamis  memang jadi istimewa bagi urang (masyarakat) Pangkallalang. Hari itu adalah hari paling mulia  bagi seurang Kik Nuje (bahasa Indonesia merbot, red.) masjid utama di kampong kami, Masjid Asy syura. Dengan keikhlasan dan kebersahajaannye Kik Nuje door to door mendatangi rumah urang Pangkallalang, mendoakan keselamatan warga, dan oleh si empunya rumah diberi secalong (kaleng susu) beras.

Entah sejak kapan mulainya,  tapi ‘tradisi’ itulah yang sangat kentara dari seurang Kik Nuje Masjid Asy Syura Pangkallalang. Mulai dari Kik Nuje (orang tua Nuje sekarang Bang Reman) hingga Kik Syarif. Para nuje inilah penjaga rumah Allah yang ada di kampong kami, bernama Masjid Asy Syura.

Kik Nuje, bagi kami urang Pangkallalang (juga orang Belitong) memang segalanya. Menjadi tempat begantung urang se Pangkallalang saat berbuka puasa, waktu imsyak, waktu sholat hingga keberesihan mesjid.

Kik Nuje juga selalu jadi ‘bahan’ anak-anak muda kampong kami. Bahan ledekan, mulai dari bikin keributan di shaf belakang waktu sholat berjamaah, menyembunyikan sandal, hingga kentut waktu sholat. Kenakalan anak-anak.

Nggak jelas apa sebenarnya kriteria penunjukan seorang Kik Nuje Mesjid Asy Syura. Yang jelas, cuma satu syarat mutlaknya. “Pengawean” alias ringan tangan. Urusan kealiman atau pengetahuan ilmu agama kadang-kadang bukan syarat utama yang utama. Contoh ringan, mulai dari Kik Nuje sebelum Kik Syarif hingga Kik Syarif, dipastikan nggak ada satu pun yang bisa diandalkan untuk adzan.

Pendek kata, kalau sampai Kik Nuje ngebang (karena tepaksa) dipastikan suaranya tidak semerdu muadzin sesungguhnya. Nggak ada bagus-bagus dan merdu-merdunya.

Lebih aneh lagi, sangat jarang Kik Nuje menjadi imam sholat berjamaah. Pernah suatu kali, karena di masjid tidak ada petugas yang biasanya adzan,  tepakse la Kik Sayrif adzan sendiri, juga qomat sendiri. Dan, beliau juga yang jadi imam. Sementara yang jadi makmum hanya segerombol anak-anak kecil yang memang selalu sholat berjamaah setiap Maghrib dan Isya. Jadilah sholat berjamaah kali itu menjadi “ajang pembantaian” Kik Syarif oleh biang-biang keributan di Masjid Asy Syura.

Sudah suara beliau membaca ayat pendek nggak kedengara, membacanya cepat pula. Sementara makmumnya ada yang tertawa-tawa, ada yang pst pst, ada yang senyum-senyum, ketut malah hanya duduk saja. Sholat berjamaah itu pun berakhir tragis. Belum selesai Imam membaca salam akhir makmumnya kabur entah kemana gerangan. Dan, setelah sholat, Kik Syarif hanya bisa mengurut dada.

Ah, Kik Syarif. Mungkin ikam (sebutan untuk orang lebih tua dalam Bahasa Belitong, red.) sudah enak dan damai berada di sisi Sang Khalik. Tapi, bagaimana cara ikam menuntun sepeda, bagaimana menjaga sendal, bagaimana  dengan handuk kecil di bahu berkipas-kipas di sudut masjid tetap tidak bisa lepas dari kami anak-anak Pangkallalang. Bahkan, kami masih bisa mendengar suara ikam mengusir kami dan melototin kami menyuruh maju maju meluruskan shaf. Semuanya, masih terasa sampai sekarang.

Kik Nuje. Masih terbayang keikhlasan ikam setiap malam takbiran melihat kulit bedug kebanggaan kita terbelah dua akibat dipukul anak-anak menggunakan pakai kayu pelawan yang dibawa dari rumah, bukan pemukul bedug masjid seharusnya. Bedug pecah, tapi suara bedug lebaran besoknya tetap betalu-talu. Entah teknik apa yang ikam kembangkan saat memukul bedug pecah itu.

Kik Nuje, sekarang mesjid kita sudah bagus bentuknya.  Tempat wudlu’  sudah bagus. Tidak ada lagi bau WC berkeliaran kemana-mana hingga ke tempat wudlu’.  Andai ikam masih hidup,  mungkin nggak akan terlalu kepanasan lagi. Lantai masjid kita sudah nyaman untuk ikam tidur-tiduran, kipas angin sekarang sudah banyak dalam mesjid. Ikam juga tidak perlu memeras tenaga ekstra untuk menggulung tikar, karena sudah banyak ambal untuk alas sembayang pengganti tikar di mesjid kita.

Kik Nuje, kami tidak tahu berapa ikam digaji saat menjadi nuje. Tapi kami urang Pangkallalang juga nggak terlalu peduli berapa gaji ikam. Yang kami tahu ikam ada dalam mesjid. Ikam  yang paling awal datang dan membuka masjid dan paling akhir nutup mesjid. Kami tidak tahu, bagaimana membalas jasa ikam. Jujur kami  tidak tahu. Yang kami tahu cuma ngolok-olok ikam, padahal kami juga tidak tahu apa salah ikam hingga senang benar anak-anak muda di Pangkallalang mengolok-olok ikam.


Kini, yang kami tahu, Kik Syarif sudah diganti oleh Bang Reman. Itulah Kik Nuje Masjid Asy Syura Pangkallalang,  ditunggu tapi rajin diganggu. Maaf kan kami Kik Nuje. (BULE SAHIB)