Pages

Monday, September 29, 2014

Cerita Rakyat Belitong / FOLKLOR

KI’ CUAN MELAWAN LIMPAI

KI’ CUAN MELAWAN LIMPAI

PADA zaman dahulu kala, tak berapa jauh dari Kampung Simpang Tiga, termasuk wilayah Kecamatan Gantung, hiduplah seorang petani bersama istri dan seorang anak gadisnya. Oleh penduduk setempat ia dipanggil Ki’ Cuan. Sebagai seorang petani, Ki’ Cuan senantiasa berada di sekitar lingkungan ladangnya, yang umumnya berada di tengah hutan. Karena itu ia menjadi sangat akrab dengan kehidupan hutan dan segala macam isinya.

Satu-satunya anak perempuan Ki’ Cuan bernama Jerimai. Sebagai seorang perempuan, tentunya, ia harus berkeluarga. Dan, ketika tiba saatnya, Jerimai pun dinikahkan Ki’ Cuan dengan seorang pemuda dari kampung setempat. Pernikahan ini diramaikan dengan acara-acara, seperti kendurian bagi orang sekampungnya.

Beberapa waktu setelah perhelatan pernikahan Jerimai, kampung dimana Ki’ Cuan tinggal sering ada kejadian hilangnya seorang anak yang bermain di pinggir hutan, pemandian (bahasa setempat disebut ai’ aronganred.), bahkan di ladang. Selain di tempat-tempat tersebut, kerap pula ada kejadian terbongkarnya kuburan orang yang baru saja meninggal. Baru saja jenazah orang meninggal dimakamkan, keesokan harinya kuburan tersebut terbongkar secara tidak teratur, seperti diseruduk semacam moncong binatang. Yang tersisa dari jenasah yang terbongkar itu, biasanya, hanyalah jari kuku dan kain kafan.

Kejadian-kejadian ini menimbulkan suasana tidak tenang di kampung Ki’ Cuan. Siang malam penduduk kampung selalu berjaga-jaga. Penduduk laki-laki, selain berjaga di ladang pada siang hari, berjaga-jaga di kampung pada malam hari. Sementara kaum perempuan, selain menyiapkan makanan bagi keluarga, tak boleh lengah mengawasi anak-anak mereka ketika bermain di pinggir hutan atau di tengah ladang.

Dalam kondisi demikian, suatu hari, keluarga Ki’ Cuan mendapat undangan kendurian pernikahan warga kampung yang tinggal di wilayah Simpang Tiga, sekarang. Rencananya, Ki’ Cuan akan pergi ke undangan tersebut karena pengundang -yang juga temannnya- dulu banyak membantunya saat pernikahan Jerimai. Lagi pula, ia tak mau menyinggung perasaan keluarga yang sudah susah-susah mengundangnya.

Cuma rawannya kondisi kampung saat itu, selalu menjadi pemikirannya untuk memenuhi undangan temannya. Sebab ia sangat tahu perjalanan menuju kampung Simpang Tiga yang akan ditempuhnya penuh risiko. Apalagi ia harus membawa seluruh anggota keluarganya, termasuk Jerimai yang masih pengantin baru.

Mengantisipasi hal-hal tidak diinginkan keluarga Ki’ Cuan akan berangkat berombongan, bersama-sama orang kampung. Sementara, karena masih ada urusan yang harus diselesaikan sebelum berangkat, Ki’ Cuan menyusul kemudian.

Rupanya, Jerimai, yang harusnya berangkat bersama dengan rombongan orang kampung, terlambat. Akibatnya ia harus berjalan sendirian, terpisah agak jauh dari rombongan di depannya. Tetapi di tengah perjalanan, tak ada yang tahu apa yang menimpa Jerimai, sang penganten baru.

Sementara itu, di rumah, setelah menyelesaikan tugasnya Ki’ Cuan buru-buru menyusul rombongan keluarganya yang telah lebih dulu berangkat. Di tengah perjalanan, Ki’ Cuan terkejut. Ia menemukan selembar selendang berlumuran darah dan sisa potongan tangan di dekatnya. Apa yang terjadi? Setelah mengamat-amati selendang berlumuran darah dan sisa potongan tangan tadi, yainlah Ki’ Cuan bahwa telah terjadi sesuatu pada Jerimai.

Sebab selendang yang ditemuinya itu ia kenali sebagai milik Jerimai yang digunakannya ketika berangkat ke undangan tersebut. Lalu di kuku jari sisa potongan tangan pun ia yakini tangan Jerimai. Sebab di kukunya terlihat pacar (kutek tradisional yang biasa digunakan untuk pengantin, red.).

Menghadapi kenyataan itu dengan perasaan marah Ki’ Cuan mempercepat langkahnya menuju tempat kendurian temannya. Setibanya di tempat kendurian, yakinlah ia bahwa Jerimai telah menjadi korban makhluk yang menggegerkan kampungnya akhir-akhir ini. Sebab Jerimai tak ada di tempat kendurian tersebut. Setelah menceritakan temuannya itu kepada istri dan menantunya, ketiga orang itu pun kembali ke kampungnya.

Di rumah, isteri dan menantu Ki’ Cuan menangis sejadi-jadinya. Malam harinya Ki’ Cuan bermimpi yang membinasakan anaknya adalah makhluk buas, seekor Limpai[oleh penduduk Belitung makhluk ini digambaran seperti babi, namun berukuran sangat besar, dan diyakini ini adalah makhluk jadi-jadian, red.]. Keesokan harinya, Ki’ Cuan pun mendatangi lokasi kejadian yang menimpa anaknya dan meminta pertanggungjawban siapa yang telah membinasakan Jerimai. Sekejap kemudian, keluarlah Limpai. Kepada Limpai, Ki’ Cuan mengatakan akan menuntut balas atas kematian anaknya. Ditantang demikian Limpai setuju dan mau melayani kehendak Ki’ Cuan, duel untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Tujuh hari berikutnya terjadilah perkelahian hidup mati antara Ki’ Cuan melawan limpai, di daerah sekitar Genting Apit. Setelah setengah hari bertempur, Ki’ Cuan telah mengeluarkan segenap kemampuannya. Tapi, Limpai belum juga dapat dikalahkan. Semua senjata yang telah ia siapkan seperti tombak, keris, dan parang sudah ia gunakan. Tapi, tetap saja, limpai tak bisa dikalahkan.
Lalu, keduanya sepakat beristirahat. Sambil istirahat Ki’ Cuan makan sirih dan campurannya dengan urak (kesung kecil sepanjang 15 sentimeter berdiameter sekitar lima centimeter, dari kayu atau bambu, berfungsi sebagai wadah pelumat campuran sirih. Untuk melumatkan campuran sirih di dalamnya digunakan alu kecil dari besi bergagang kayu biasa disebut mata urak. red.). Sebagian dari sirih yang telah dilumatkan, dan sebelumnya telah dimanterai, diberikannya kepada Limpai.

Setelah itu perkelahian pun dilanjutkan. Karena tak ada senjata lagi yang bisa digunakan, satu-satunya yang bisa digunakan Ki’ Cuan hanyalah urak. Akhirnya, dengan mata urakitulah Ki’ Cuan melanjutkan pertempurannya melawan Limpai.

Pertempuran berjalan terus. Namun, keduanya masih terus bisa bertahan. Selama itu Ki’ Cuan terus berusaha mengambil kesempatan untuk berada di bawah perut limpai. Dan, kesempatan itu pun tiba. Karena kurang hati-hati Ki’ Cuan terjatuh dan persis berada di bawah perut Limpai. Pada saat itulah Ki’ Cuan menusukkan mata urak-nya ke perut Limpai. Sekejap kemudian makhluk yang telah menggegerkan kampung Ki’ Cuan ini pun roboh.

Sebelum Limpai menghembuskan nafas terakhirnya, Ki’ Cuan bersumpah: “Mulai saat ini setiap keturunan Ki’ Cuan tetap menjadi musuh bebuyutan Limpai.”

Karena sumpah itulah, hingga kini, masih banyak yang percaya, di tempat Ki’ Cuan bertempur melawan limpai –daerah sekitar Genting Apit- jika menyebutkan diri sebagai keturunan Ki’ Cuan, Limpai akan datang ke tempat tersebut. Sebab, itu sama saja artinya, mengundang limpai untuk berkelahi.

Narasumber: Mirpan, pria kelahiran Simpang Tiga, yang saat diwawancarai (1986) sudah berusia 50 tahun. Ia mendapat cerita ini dari ayahnya –Alm Deramin di tahun 1950an.

Taken from : cerite kampong dari kampoeng halaman, edited by bule SAHIB

No comments:

Post a Comment