Pages

Monday, September 29, 2014

Cerita Rakyat Belitong / FOLKLOR

HIKAYAT PADANG PENYENGAT




KISAH ini bermula dari kedatangan Adipati Cakraningrat I ke Belitung, yang semulanya bermukim di daerah Balok (Balok lama) pada akhir abad 16 awal abad 17, diriwayatkan sebagai keturunan langsung Bupati Mataram yang pertama. Menurut riwayat setempat, saat Cakraningrat pertama datang, di Belitung telah ada sebuah wilayah ‘kerajaan’ lokal, yaitu Kerajaan Badau yang takluk pada Majapahit. Kerajaan ini didirikan oleh seorang bangsawan berasal dari Gresik, yang kemudian dikenali sebagai Datuk Mayang Gresik dan menamakan diri Kiai Ronggo Udo.

Berbeda dengan Cakraningrat, Datuk Mayang Gresik mendarat di Sungai Berang, dan kemudian menempati daerah Gunung Badau, antara Pelulusan dan Nyuruk sekarang ini, dimana terdapat makam Raja Badau. Raja terakhir dari generasi ini adalah Kiai Ronggo Udo IV. Sayangya beliau tidak mempunyai keturunan laki-laki. Beliau hanya mempunyai seorang anak gadis bernama Nyai Sitti (Dewi) Kesuma, yang kemudian menjadi istri Raja Balok pertama yaitu Kiai Rangga atau Adipati Cakraningrat I  atau Kiai gede Ja’kup.

Pada suatu waktu terjadi perselisihan antara Kerajaan Badau dengan Kerajaan Balok, tentang siapa membawahi siapa. Raja Balok mengklaim bahwa raja Badau harus berada di bawahnya. Namun Raja Badau tak menerima keadaan ini karena merasa lebih dulu datang ke Belitung, dibuktikan dengan adanya umbul-umbul merah putih yang dibawa dari Majapahit ketika Mayang Gresik mendarat di Belitung. Bukti-bukti sejarah tersebut hingga kini tersimpan di Musium Badau.
Keberatan Raja Badau itu, terang saja kemudian membuat Raja Balok tidak senang dan kurang puas terhadap Raja Badau. Hingga setiap kali ada pertemuan antara keduanya, selalu saja terjadi adu mulut walau belum menjurus kepada terjadinya adu fisik.

Setelah kesalahfahaman itu berlarut-larut, suatu hari datanglah utusan dari Raja Balok ke Kerajaan Badau untuk menyampaikan ajakan semacam adu kekuatan atau perang tanding di Kerajaan Balok. Oleh Raja Badau utusan ini disuruh menyampaikan kepada Raja Balok, agar bersiap menerima kedatangan Raja Badau guna memenuhi ‘tantangan’ tersebut. Namu, sebelum pulang, orang-orang Raja Badau terlebih dahulu menggunduli kepala utusan Raja Balok tersebut.
Setibanya di Balok, murkalah Raja Balok atas perlakuan kurang ajar terhadap anak buahnya itu. Waktu itu membotaki seorang utusan merupakan satu penghinaan besar bagi kubu yang mengutus. Hingga Raja Balok makin bersemangat untuk segera perang tanding dengan Raja Badau.

Akhirnya, waktu perang tanding itu pun tiba. Raja Balok sudah menyiapkan penyambutan besar-besaran bagi Raja Badau di satu lapangan terbuka dimana ia biasa melatih para pengawalnya berperang, yaitu di Padang Penyengat. Raja Badau pun merasa sangat gembira ketika tiba di lapangan itu, karena merasa akan memenangi perang tanding tersebut. Kegembiraan Raja Badau itu rupanya tercium oleh Raja Balok, yang disindirkannya sebagai kegembiraan terakhir sebagai orang yang akan takluk padanya.

Maka dimulailah perang tanding antara kedua pasukan kerajaan. Namun, kendati semua sistem perang dan pertandingan sudah dilakukan tak ada juga pihak yang menyatakan diri sebagai pemenang maupun merasa kalah. Pada pertandingan terakhir tibalah giliran Raja Balok dan Raja Badau untuk saling adu kemampuan. Karena korban yang jatuh sudah sangat banyak,  mereka pun sepakat untuk mengadakan duel fisik secara terbuka, yakni adu sepak takraw.

Sebagai tamu, Raja Badau diberi kesempatan pertama, dan berhasil menyepak raga hingga sepuluh meter. Ketika giliran Raja Balok tiba, suasana menjadi sunyi senyap, hening. Setelah gilirannya tiba, Raja Balok mampu menyepak raga hingga lebih 12 meter.
Melihat kenyataan bahwa dirinya kalah dari Raja Balok, maka Raja Badau pun bersumpah, “Mulai detik ini tujuh keturunan kita tidak boleh bersatu (kawin). Kalau ini dilanggar maka celakalah semuanya.”

Seusai perang tanding semua anggota pasukan menuju sebuah telaga untuk membersihkan senjata tajam masing-masing. Saking banyaknya anggota pasukan yang mencuci senjatanya, seketika air telaga itu berubah menjadi merah, hingga kemudian telaga itu dikenal dengan sebutan TELAGE DARA.

Akan sumpah yang diucapkan Raja Badau, hingga keturunan ketujuh memang masih perlu diperdebatkan. Namun, di Desa Bantan, ada seorang tua dari Badau berkeluarga dengan orang dari Balok dan sudah delapan anaknya meninggal dunia. Setiap kematiannya sama, satu kakak tidak pernah punya adik. Jika adik lahir maka sang kakak akan mati, dan begitu seterusnya. Apakah itu karena sumpah Raja Badau? Wallahualam Bissawab.

Pesan dari cerita ini adalah: “Hati-hati dalam mengucapkan sumpah karena akibatnya akan dirasakan anak cucu”.

Taken from : cerite kampong dari kampoeng halaman, edited by bule SAHIB

No comments:

Post a Comment