Pages

Monday, September 29, 2014

Cerita Rakyat Belitong / FOLKLOR

KISAH ANTU BERASU’

CERITA yang telah tertutur dari mulut ke mulut dan berkembang luas di masyarakat Belitung ini bermula di sebuah keleka’ (kampung kecil zaman dulu, red.) yang sekarang bernama Simpang Tiga, Kecamatan Gantung, Belitung Timur. Hingga sekarang cerita ini menjadi semacam ‘buku pegangan’ para pemburu di Pulau Belitung.

Berasu’ merupakan salah satu cara berburu binatang hutan, terutama pelanduk, dengan bantuan anjing ‘pemburu’. Oleh karena asu’ (anjing, bahasa Belitung, red.) memainkan peran cukup besar, maka perburuan ini disebut berasu’. Sedang kata antu berarti hantu. Hingga kata Antu Berasu’, secara harfiah berarti hantu sedang berburu.

Umumnya, orang-orang yang sering berburu pada malam hari, pernah bahkan sering mendengar lolongan anjing menyayat hati menggambarkan kepiluan. Suara lolongan-lolongan anjing itu terdengar berasal dari hutan-hutan, teruma ketika bulan sedang purnama penuh. Konon, kabarnya suara lolongan itu pertanda sedang ada antu berasu’.

Prosesi berasu’ sendiri lazimnya dilakukan secara berkelompok beranggotakan 3-5 pemburu. Untuk mengarahkan binatang buruan biasanya terlebih dulu memasang pepa’ (penghalang, red.) terbuat dari ranting pohon kecil sepanjang 60-70 cm yang ditidurkan hingga setinggi 40-50 cm. Pepa’ ini berfungsi sebagai pagar agar pelanduk yang terkurung dan tidak bisa melompatinya. Pepa’ ini lazimnya bisa mencapai 5-6 km, atau disesuaikan dengan jumlah anggota dalam kelompok perburuan tersebut. Pada rentangan pepa’, dalam jarak antara 80-100 meter sengaja dikosongkan untuk memasang jerat pelanduk atau lapun.

Lalu dimana fungsi anjing? Nah anjing-anjing pemburu yang memang sudah terlatih biasanya dilepas di hutan. Dalam satu perburuan, jika terdengar suara salakan, berarti anjing sudah melihat seekor pelanduk dan segera mengejarnya. Berdasar suara salakan anjing itulah para pemburu mendatangi arah darimana suara gonggongan tersebut berasal.

Akan halnya pelanduk yang terkurung dalam pepa’ biasanya tidak bisa keluar. Satu-satunya jalan keluar adalah ruang kosong pada rentangan pepa’ yang telah dipasangi lapun. Saat keluar di lubang itulah pelanduk akan terjerat atau masuk lapun. Pelanduk hasil buruan, bagian kepala diserahkan kepada kepala kampung, sisanya dibagi rata di antara anggota kelompok perburuan.
Kisah antu berasu’ sendiri bermula di masa hidup penduduk Belitung masih betul-betul mengharapkan pada alam, terutama kepada hutan dimana orang Belitung masih banyak meninggali daerah pedalaman guna menghindarkan diri dari serangan para lanun atau bajak laut.

***

ALKISAH, di satu keleka’, sekarang Simpang Tiga, tinggallah sepasang suami istri. Sang suami adalah pemburu handal. Kehidupan keluarga itu tengah dinaungi kebahagiaan. Sang istri sedang hamil.

Lazimnya orang sedang hamil, sang istri mengidamkan makanan yang aneh-aneh, dan harus dipenuhi. Suatu hari ia berkata kepada sang suami, ngidam ingin makan daging “pelanduk bunting laki”. Merasa kehendak itu adalah keinginan si jabang bayi dalam kandungan sang istri dan kecintaan mendalam pada istrinya, sang suami pun menyanggupi untuk memenuhi permintaan tersebut.

Singkat cerita setelah menyiapkan perlengkapan, bersama temannya dan seekor anjing, ia berangkat ke hutan, mencari pelandok bunting laki. Sebelum berangkat ia bersumpah, ”Mun lum dapat pelandok bunting laki, aku lum kan balik.”

Berhari-hari pemburu itu bersama temannya menjelajahi hutan untuk memenuhi kehendak istrinya. Tapi setiap berhasil menangkap pelanduk --yang bunting sekalipun-- selalu pelanduk betina. Entah sampai kapan pelanduk laki bunting tidak akan didapatkan. Namun demikian sang pemburu itu tetap bersikeras tidak akan pulang sebelum kehendak istrinya terpenuhi.
Karena sudah lebih dua pekan di dalam hutan, teman si pemburu  minta izin pulang ke kampung. Sang pemburu itu pun tak keberatan. Kepada temannya, sebelum pulang, ia berpesan agar istrinya tetap bersabar karena pelandok bunting laki belum ditemukan. Karena itulah ia belum mau pulang ke rumah.

Setiba di kampung, teman si pemburu itupun menyampaikan pesan suaminya kepada istrinya. Ia juga menceritakan segala hal ihwal perburuannya yang selalu mendapat pelanduk betina yang bunting, tak pernah ketemu jenis laki-laki.

Mendengar cerita itu, betapa sedih hati sang istri pemburu. Sebab suaminya telah salah menerima ucapannya. Sebab yang ia maksud bukanlah pelanduk laki yang bunting, tapi pelanduk (betina) bunting yang anak dalam perutnya laki-laki.

Tiga bulan setelah kepergian suaminya berburu, dengan bantuan pengguling (bidan kampung, red.), sang istri pun melahirkan bayi laki-laki. Sementara itu, tak satu pun penduduk keleka’ tersebut yang tahu menahu kabar sang pemburu di hutan.

Puluhan tahun berlalu. Sang anak beranjak tumbuh besar, menjadi pemuda yang gagah. Namun, ia tetap bertanya-tanya, kenapa tak pernah mellihat ayahnya. Maka ia pun menanyakan hal ihwal ayahnya kepada sang ibu. Didesak anak satu-satunya, sang ibu pun dengan berat hati menceritakan bahwa, ayahnya sedang pergi ke hutan untuk mencari pelanduk bunting laki buat dirinya semasa masih dalam kandungan dan belum kembali hingga sekarang.

Mendengar cerita itu, sang anak merasa bahwa kepergian ayahnya yang tidak kembali lagi karena ia sendiri. Hingga, sejak mendengar cerita itu, ia berusaha untuk mencari ayahnya. Jalan pertama adalah menanyakan dimana ia bisa menemui ayahnya kepada teman ayahnya terakhir berasu’ dulu. Oleh teman si pemburu, ia diberitahu bahwa ayahnya sering terlihat di pinggir hutan dekat aik arongan (aliran anak sungai yang melintas di sekitar pemukiman yang sering digunakan penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan air, red.).

Mendapat informasi tersebut, segera si anak si pemburu itu menuju aik arongan di tepi hutan seperti ditunjukan menunggu kemunculan ayahnya. Namun, setelah beberapa kali menunggu, sang ayah tak juga muncul. Karena itu ia pun mengubah cara untuk melihat dan menemui ayahnya, dengan cara bersembunyi.

Suatu sore tampak ayahnya terlihat singgah di tepi hutan dekat arungan. Melihat kemunculan ayahnya, bukan kepalang gembiranya sang anak. Tak sadar ia berteriak memanggil nama ayahnya sambil berlari menghambur ke tempat ayahnya berdiri. Terperanjat (terkejut dan kaget, red.) mendengar suara panggilan seorang anak dan berlari menghambur ke arahnya sang ayah pun segera berlari masuk ke dalam hutan.

Kendati hasrat untuk melihat sang ayah telah terpenuhi, tetap saja sang anak belum merasa puas. Ia pun segera duduk di bekas tempat ayahnya tadi duduk. Saking menahan jengkel ia menebang sebatang rotan segah (satu jenis rotan, red.). Sambil berjongkok potongan rotan tadi dibuatnya simpai (anyaman rotan berbentuk lingkaran yang biasa digunakan untuk pengikat, red.) dengan menggunakan lipatan lutut dan pahanya sebagai ukuran. Setelah selesai, simpai itupun dilepaskannya dari lipatan kakinya. Karena hari sudah gelap, ia bergegas dengan meninggalkan simpainya begitu saja.

Esok paginya sang anak kembali lagi ke pinggir hutan itu bermaksud untuk mengambil simpainya yang tertinggal. Tapi apa yang dilihatnya? Di kejauhan ia melihat ayahnya sedang asyik bermain-main dengan simpainya kemaren. Sesekali simpai itu ia masukkan ke atas kepala, ke lengannya, kebesaran. Penasaran tak bisa mengenakan simpai tadi, ia pun segera duduk berjongkok. Tanpa sadar ia memasukkan simpai ke lipatan lutut dan pahanya, hingga masuklah simpai tersebut dengan pas. Hingga ia tak bisa berdiri.

Melihat simpai itu masuk ke lipatan paha dan lutut ayahnya, sang anak pun segera berlari menghampiri. Ia pun segera menangkap ayahnya sambil menangis sesunggukan.

“Sape kau lup?” tanya sang ayah kepada anak yang memeluknya itu, sambil terkaget-kaget.
Ditanya demikian, si anak tak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya mengelus-elus jenggot ayahnya yang panjang.

Dengan gemetar dipegangnya tangan si anak, sambil bertanya kembali, “Sape kau ne sebenarnye anak mude?”

Si anak pun segera menjawab, “Aku adalah anakmu, ayah. Akulah anak yang di dalam perut ibu ketika ayah pergi berburu mencari pelanduk bunting laki.”

Mendengar jawaban si anak, sang ayah merasa betapa lama waktu yang telah dilewatkannya untuk mencari pelanduk bunting laki. Kalau melihat anak yang besar dan kuat di hadapannya, pastilah sudah puluhan tahun. Menyadari hal itu, ingin rasanya ia kembali pulang ke rumah tinggal bersama anak dan istrinya. Tapi karena ia sudah bersumpah bahwa, tidak akan kembali sebelum membawa pelanduk bunting laki di tangannya ia mengurungkan niat tersebut.

Sang anak pun terus berusaha membujuk ayahnya agar segera kembali. Lagipula, idaman ibunya sudah tidak mungkin dimintai karena si anak sudah lahir dan sudah tumbuh sehat dan baik.
Kendati sudah dibujuk-bujuk sang ayah tetap bersikeras akan terus mengembara di hutan belantara mencari pelanduk bunting laki. Ia pun berkata pada anaknya, “Baiklah nak, sekarang kau pulanglah. Sampaikan kepada ibumu aku tak akan kembali sebelum pelanduk bunting laki ada di tanganku.”

Cuma pesanku, lanjut si pemburu, “Jika kau pergi berasu’, perhatikan pesan ini. Jika berasu’ bulan purnama sembilan (hari ke sembilan bulan muncul), jangan kau ambil pelanduk yang lekat di sebelah kiri, tengah dan kanan dari lapunmu. Pelanduk itu bagianku. Lalu, jika bulan raya tujuh belas (hari ke-17 bulan muncul, purnama penuh) jangan kau ambil lapun yang lekat di selang seling lapunmu, itu bagianku. Dan kalau bulan purnama sudah ke-27 dan seterusnya, kami sudah ke laut untuk mencari ikan.”

Mendengar pesan itu, si anak jadi heran kenapa ayahnya masih juga mau mendapatkan pelanduk. Setelah diterangkan si ayah, barulah ia tahu bahwa, ayahnya telah terikat oleh sumpah di hadapan ibunya. Dengan berat hati, si anakpun mohon diri kepada ayahnya sambil berujar, ”Ayah, bagaimanapun kau tetap ayahku. Namun, jika ayah tak mau kembali ke rumah, apa boleh buat. Ananda akan mematuhi pesan ayah dan akan kujaga ibu baik-baik. Ananda mohon pamit ayah.” Sesudah mengucapkan kata-kata perpisahan itu, sang anak pun melepaskan simpai yang ‘menjerat’ kaki ayahnya dan sang ayah segera menghilang ke hutan belantara, melanjutkan perburuannya.

Setiba di rumah sang anak menceritakan perihal pertemuan dengan ayahnya di pinggir hutan tadi. Sang ibu pun bisa memahami bahwa suaminya tak akan kembali ke masyarakat ramai dan ia segera berdoa semoga kesalahannya diampunkan yang Kuasa. Sejak itu kedua anak beranak ini selalu memper­hatikan tanda-tanda purnama dan sang anak selalu melakukan pesan ayahnya demi “pengabdian” kepada sang ayah.

***MENURUT informan, setiap pemburu yang mendapatkan pelanduk di lapun mereka pada hari bulan ke sembilan, tak pernah mereka mengambil pelanduk-pelanduk yang terjerat di lapun pertama, tengah dan akhir. Demikian pula ketika pada purnama penuh tujuh belas, mereka tak pernah mengambil pelanduk yang lekat di lapun yang selang seling.

Bahkan, menurut cerita informan, banyak pemburu di Belitung tak berani pergi berburu ke hutan pada bulan purnama penuh tujuh belas hari bulan, karena mereka takut atau khawatir bertemu dengan antu berasu’. Namun, bagi pemburu berpenga­laman, bulan purnama tujuh belas itu justru menjadi saat yang tepat untuk berburu. Konon kabarnya, mereka dapat mengajak antu berasu’ tadi untuk bekerjasama berasu’ dengan sistem bagi hasil. Jika kena lapun ganjil berarti punya antu berasu’ dan jika kena lapun genap berarti milik pemburu. Pada malam tujuh belas ini sering terdengar lolongan asu’ merindukan tulang, konon kabarnya suara lolongan itu adalah milik anjing si suami tadi yang masih terus gentayangan di hutan-hutan bersama sang tuannya.

***

Pesan cerita ini : “Berhati-hatilah menerima atau menyampaikan pesan dari siapapun karena, kalau salah bisa berakibat merugikan diri sendiri dan orang lain.”

Taken from : cerite kampong dari kampoeng halaman, edited by bule SAHIB

No comments:

Post a Comment