Tentang Pulau Kami, BELITONG
“Kamu Belitung atau Bitung? Di Sulawesi dong.” Dua
puluh tahun silam, karena kedekatan antara bunyi sebutan Belitung dengan
Bitung, banyak orang bingung dimana letak Belitung sebenarnya.
Kini, setelah Belitung banyak terpublikasi,
pertanyaan persisnya tentang Belitung pun juga masih menggema. Setelah menjadi
provinsi sendiri, Kepulaua Bangka-Belitung, banyak yang mengira Bangka dan
Belitung itu masih satu pulau.
Padahal Belitung memiliki sejarah sangat panjang. Sejarah
mencatat pada akhir abad Ke-7 Belitung merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Sriwijaya. Di
saat Kerajaan Majapahit, pada tahun 1365 Belitung ini menjadi salah satu
benteng pertahanan laut Majapahit.
Palembang sendiri, baru menaklukkan
Belitung pada abad ke-15, di saat di Belitung
sudah ada empat kerajaan lokal. Yaitu Kerajaan Badau, Kerajaan Balok, Kerajaan
Belantu dan Kerajaan Buding yang merupakan bagian dari Kerajaan Balok.
Pada abad ke-17, Pulau Belitung menjadi
jalur perdagangan dan tempat persinggahan kaum pedagang Cina dan Arab. Sementara sejarawan
Cina Fei Hsin (1436) mencatat orang Cina sudah mengenal Belitung pada tahun 1293,
akibat sebuah armada Cina dipimpin Shi Pi, Ike Mise dan Khau Hsing yang sedang
mengadakan perjalanan ke Pulau Jawa terdampar di perairan Belitung.
Cikal kolonisasi Belanda di Belitung bermula
tahun 1668. Saat sebuah kapal Belanda bernama 'Zon De Zan Loper', dibawah
pimpinan Jan De Marde, mendarat di Sungai Balok, satu-satunya bandar di Belitung
yang saat itu ramai dikunjungi pedagang asing.
Berdasarkan penyerahan Tuntang pada 18
September 1821, Belitung termasuk wilayah kekuasaan Inggris. Namun, secara de facto telah terjadi
pada 20 Mei 1812.
Berdasar Surat Keputusan Komisaris
Jenderal Kerajaan Inggris tanggal 17 April 1817, Inggris menyerahkan Belitung
kepada Kerajaan Belanda. Atas nama Baginda Ratu Belanda, ditunjuk seorang
Asisten Residen untuk menjalankan pemerintahan di Pulau Belitung.
Pada tahun 1823, JP. De La Motte, seorang
Asisten Residen sekaligus pimpinan tentara Kerajaan Belanda berpangkat Kapten
berkebangsaan Belgia, menemukan timah di
Belitung. Seusai Traktat
London (1850), penambangan timah diambil alih Billiton Maatschapij,
sebuah perusahaan penambangan timah milik Pemerintah Belanda.
Tentara Jepang mulai menduduki Pulau
Belitung sejak April 1944. Namun, setelah pada awal 1945 sempat membentuk Badan
Kebaktian Rakyat yang bertugas membantu pemerintahan, masa pendudukan Jepang berakhir. Onder
Afdeling Belitung kembali dikuasai Belanda pada 1946 dan kembali
diperintah Asisten Residen Bangsa Belanda. Sementara penguasaan distrik tetap
dipegang oleh seorang Demang yang kemudian diganti dengan sebutan Bestuurhoofd.
Di masa awal kemerdekaan Belitung beberapa
tahun pernah menjadi bagian dari Gewest Borneo, lalu menjadi bagian Gewest
Bangka - Belitung dan Riau.
Setelah muncul peraturan yang mengubah
Belitung menjadi Neolanchap, pada 1947 dibentuk Dewan Belitung sebagai badan
pemerintahan.
Pada waktu pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS), Neolanchap Belitung merupakan negara
tersendiri, bukan sebagai negara bagian. Tahun 1950 Belitung dipisahkan dari
RIS dan digabungkan dalam Republik Indonesia. Pulau
Belitung menjadi sebuah kabupaten yang termasuk dalam Provinsi Sumatera Selatan dibawah
kekuasaan militer, karena pada waktu itu Sumatera Selatan merupakan Daerah
Militer Istimewa. Sesudah berakhirnya pemerintahan militer, Belitung kembali
menjadi kabupaten yang dikepalai oleh seorang Bupati.
Kini, Belitung terbagi menjadi 2
kabupaten yaitu Kabupaten
Belitung, beribukota di Tanjung
Pandan, dan Belitung
Timur, beribukota Manggar.
Secara geografis, Belitung (orang local melafalnya
Belitong), adalah sebuah pulau
di lepas pantai timur Sumatra,
Indonesia, terletak pada
107°31,5' - 108°18' Bujur Timur dan 2°31,5'-3°6,5' Lintang Selatan, diapit Selat Gaspar dan Selat Karimata. Belitung
bertahun-tahun terkenal sebagai penghasil timah. Belitung juga kaya dengan
bahan tambang lainya, semisal bahan tambang tipe galian-C pasir kuarsa, tanah liat putih (kaolin), dan
granit. Kekayaan ini mengalahkan kekayaan alam lainnya semisal lada putih (Piper
sp.) --dalam bahasa setempat disebut sahang— dan hasil laut.
Akhir-akhir ini pulau seluas 4.800 km² atau 480.010
ha yang dimukimi oleh suku Melayu
(bertutur dengan dialek Belitung) dan keturunan Tionghoa Hokkien dan Hakka ini mulai dikenal
sebagai tujuan wisata alam alternatif.
No comments:
Post a Comment