Pages

Monday, September 29, 2014

Cerita Rakyat Belitong / FOLKLOR

TELAGE MUYANG MANIS


DI bagian Tenggara Kecamatan Membalong terdapatlah sebuah teluk agak besar, yakni Teluk Balok. Ke dalam teluk ini bermuara sebuah sungai yang terbilang besar dan panjang menurut ukuran penduduk setempat. Sungai itu dikenal sebagai Sungai Kembiri.

Konon, pada suatu ketika -sebelum masuknya Agama Islam ke Belitung, di sisi sungai ini berlabuh sebuah perahu.

Sebelumnya, perahu tersebut telah beberapa hari memudiki sungai tersebut sampai jauh ke hulu hingga tiba pada sebuah lemong (lekukan sungai yang airnya lebih dalam, red.), tempat Sungai Kembiri ini terbelah dua. Aliran dari sebelah kiri agak dalam airnya daripada air sebelah kanan. Ke arah kiri inilah perahu tersebut melaju, alirannya menuju arah matahari terbenam.

Setelah berhari-hari memudiki sungai ini, perahu ini akhirnya tiba di satu tempat yang mereka anggap baik sebagai tempat pemukiman. Setelah mendarat, awak perahu itu pun segera mempersiapkan diri membuat tempat untuk bermukim. Mereka menebang hutan dan membuka ladang.

Dalam berladang pendatang baru ini sangat tekun, hingga tidak heran jika usaha mereka sangat berhasil. Tanaman mereka tumbuh subur. Keberhasilan ini mendorong penduduk yang lebih dulu datang dan tinggal tak jauh dari pemukiman baru tersebut untuk mendekatkan diri, hingga kemudian berkembang menjadi persahabatan.

Pendatang baru ini dipimpin seorang yang bernama Tu’ Pancor. Dan istrinya dipanggil Nek Pancor. Kagum dengan keberhasilan anak buah Tu’ Pancor dalam berladang, penduduk yang bermukim di sekitarnya mulai berpindah mendekati Keleka’ Tu’ Pancor. Daerah itu akhirnya berkembang pesat dan kemudian dikenal dengan Keleka’ Tu’ Pancor. Dan dari sinilah riwayat ini dimulai.

Satu ketika terjadilah musim ‘barat ijau’. Musim barat ijau ini digambarkan masyarakat sebagai musim kemarau sangat panjang melebihi kemarau yang pernah terjadi sebelumnya. Datangnya musim ini lebih cepat dari biasanya. Akibatnya air sungai dan sumur-sumur sumber air minum penduduk lebih cepat kering. Akibatnya, penghuni keleka’ Tu’ Pancor mengalami kesulitan air. Satu-satunya sumber air yang masih tersisa terletak di antara dua buah bukit, puluhan kilometer jauhnya dari Keleka’ Tu’ Pancor. Namanya Selangan Libot.Selangan dalam bahasa setempat berarti di antara dan Libot adalah sejenis nama kayu hutan yang ringan dan lentur. Secara harfiah Selangan Libot berarti hutan libut di antara dua bukit.

Sepanjang musim barat ijau, dari kelaka’-nya, setiap hari, Tu’ Pancor dan penduduk setempat berjalan kaki ke Selangan Libot untuk mengambil air. Dari pagi-pagi buta hingga gelap malam mereka bergantian ke sumber air tersebut.

Satu hari, di tengah teriknya sengatan matahari, keponakan Tu’ Pancor, bernama Manis, sedang asyik bermain di sekitar rumahnya. Setelah lama bermain, Manis kehausan. Ia kembali ke rumah, bermaksud untuk minum. Namun semua tempat air sudah kosong melompong. Tak menemukan air di rumahnya, Manis pun mencari air ke rumah tetangganya. Tapi, mereka tak ada di rumah. Semuanya sedang mengambil air di Selangan Libot. Tak dapat air minum, Manis meraung-raung pulang ke rumahnya.

Melihat Manis menangis meraung-raung, Tu’ Pancor bergegas menemuinya dan berusaha menyabarkan agar berhenti menangis sambil menjanjikan akan mencarikannya air minum. Meski telah dibujuk, bukannya berhenti, tangisan Manis malah makin menjadi-jadi. Bahkan, lebih keras dari sebelumnya. Tu’ Pancor pun panik. Dalam kepanikan itulah Tu’ Pancor segera mengambil tempat air dan langsung bergegas menuju Selangan Libot untuk mengambil air minum.

Sementara Manis terus saja menangis. Sambil menangis di kaki tangga rumah, ia menghentak-hentakan kakinya ke tanah. Lama kelamaan tanah tempat ia menghentakan kaki semakin dalam dan lebar. Saat rasa hausnya memuncak, sambil menunduk ke tanah tempat ia menghentak-hentakkan kakinya, Manis pun meratap, “Jika aku masih akan diberikan hidup, keluarkanlah air dari tempat ini.”

Aneh bin ajaib. Atas kehendak yang Kuasa, saat itu juga keluar air yang jernih dari tempat tersebut. Manis pun bersorak kegirangan. Sekejap kemudian ia pun meminum air tersebut sepuas-puasnya hingga hilang rasa hausnya.

Tak lama kemudian, dengan terengah-engah, Tu’ Pancor kembali dari Selangan Libot. Kedua tangannya menjinjing kubok –tempat air, red.-- penuh berisi air. Namun, apa yang dilihatnya? Terheran-heran lah Tu’ Pancor menemukan Manis kelihatan segar bugar dan sedang bermain dengan gembiranya, justru dengan air. Padahal, ketika ia tinggalkan, Manis sedang menangis meraung-raung.

Mendapati kondisi Manis yang segar bugar, Tu’ Pancor segera menanyakan bagaimana ceritanya hingga ia memperoleh air. Tu’ Pancor juga berusaha melarang Manis terus bermain dengan air tersebut, mengingat air begitu sulitnya didapat saat itu. Manis pun menceritakan ihwal datangnya air tersebut. Sejak itu penduduk setempat tak pernah lagi mengalami kesulitan air untuk keperluan sehari-hari.

Sumur atau telaga, dengan garis tengah sekitar satu meter sedalam 60 centimeter ini, hingga sekarang masih ada dan dikenal masyarakat setempat dengan nama Telage Muyang Manis.
Biasanya pada upacara Nirok Nanggok, upacara adat pengambilan ikan di musim kemarau, dari sinilah air pertama untuk semua peserta upacara diambil. Upacara pengambilan air itu dipimpin seorang dukun ai’ (dukun air, red.) dan dimulai dengan memasang sesajen -biasanya terdiri dari kembang setaman dan kemenyan- di empat sisi sumur. Setelah dibacakan mantera secara perlahan, dari empat sisi sumur -yang semula kering kerontang- keluar air hingga terisi penuh.
Dalam upacara Nirok Nanggok, dari sumur inilah semua peserta upacara mendapatkan air minum.

Sumur ini pun bisa terbilang penuh mistis. Sebab, syarat mutlak peserta upacara ini harus beragama Islam. Pernah, satu kejadian, sekitar awal 1970-an, tanpa diketahui sebelumnya, ada seorang Cina ikut dalam upacara tersebut. Kedatangannya untuk bermain judi ke lokasi tersebut. Dengan sekejap air Telage Muyang Manis kering. Setelah diketahui ada seorang Cina di lokasi tersebut, kepala adat segera mengusirnya. Sekejap kemudian sumur itu pun berair kembali.
Situs Telage Muyang Manis ini, hingga sekarang masih ada dan dianggap sakral oleh masyarakat setempat, dan selalu menjadi lokasi Upacara Nirok Nanggok.

Narasumber : Abdul Hajar, saat diwawancara (1986) telah berusia 76 tahun. Beliau adalah bekas Kepala Negeri Membalong sampai dengan 1976, dan sempat menjadi anggota DPRD Belitung (1973-1978).

Taken from : cerite kampong dari kampoeng halaman, edited by bule SAHIB

No comments:

Post a Comment